Jakarta, Kabapedia.com – Penjualan Starbucks di berbagai negara, termasuk Indonesia, sedang mengalami penurunan tajam. Bisnis Starbucks menjadi goyah. Apakah ini gara-gara boikot? Bisa jadi, walaupun beberapa pihak, termasuk Starbucks sendiri, menyangkalnya.
Baca juga:
- Brand 1 Abad OTW Bangkrut!! Berguru dari Kegagalan Sepatu Bata
- Strategi Anti-Trend Uniqlo Bikin ZARA Tekuk Lutut!!
Apapun itu, yang pasti Starbucks sedang menghadapi tantangan berat sampai Howard Schultz, sang pendiri, harus turun tangan lagi mengatasinya. Memang ada apa sih? Dan bagaimana strategi Schultz untuk menyelamatkan Starbucks? Yuk kita cari tahu dari kajian Indrawan Nugroho yang merupakan praktisi bisnis kenamaan tanah air dalam video YouTube terbarunya.
Penurunan Penjualan dan Dampaknya
Untuk pertama kalinya sejak tahun 2020, penjualan Starbucks menurun. Penjualan secara global di gerai-gerai raksasa kafe asal Amerika Serikat ini turun 4%. Bahkan di Tiongkok, penurunannya lebih drastis lagi, mencapai 11%. Padahal, mereka sudah mencoba mengatasinya dengan berbagai cara seperti promo 50% dan memperkenalkan varian produk baru, Lati Lavender.
Penurunan ini tentu saja mempengaruhi pendapatan mereka. Semula, pendapatan diperkirakan bisa mencapai 9,1 miliar USD, namun pada kuartal terakhir hanya mencapai 8,6 miliar USD atau setara 137,6 triliun rupiah. Laba bersih untuk kuartal pertama yang berakhir tanggal 31 Maret hanya tercatat sebanyak 772 juta USD atau sekitar 13,5 triliun rupiah, turun dari laba tahun sebelumnya sebesar 874 juta USD. Laba per saham juga turun dari 80 sen menjadi 68 sen.
Reaksi Pasar dan Penurunan Saham
Akibatnya, dalam dua hari saja, harga saham Starbucks ambruk 17%, dari 88,49 USD per saham menjadi 73,11 USD. Kapitalisasi pasar Starbucks lenyap hingga 278 triliun rupiah. Menurunnya performa bisnis Starbucks di kuartal ini diakui oleh Laxman Narasimhan, CEO Starbucks. Ia mengatakan bahwa dalam lingkungan yang penuh tantangan, hasil kuartal ini tidak mencerminkan kekuatan dan kemampuan mereka. Narasimhan menambahkan bahwa hal ini tidak memenuhi ekspektasi, tetapi mereka memahami tantangan dan peluang yang ada di depan.
Pengaruh Boikot
Banyak yang beranggapan bahwa menurunnya penjualan Starbucks adalah akibat boikot yang dilancarkan terutama di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim. Sejumlah gerai Starbucks di Timur Tengah misalnya, merasakan dampak ekonomi yang signifikan sehingga terpaksa memecat sekitar 2.000 karyawan. Situasi yang serupa terjadi di Indonesia. Pemegang lisensi Starbucks di tanah air, PT Sari Coffee Indonesia, juga melaporkan penurunan penjualan yang signifikan. Liriawati, Chief Marketing Officer dari PT Sari Coffee Indonesia, mengatakan bahwa mereka mengalami penurunan penjualan hingga 35% akibat dari boikot terhadap Israel.
Pendapat Analis
Namun, beberapa analis berbeda pandangan. Mereka menganggap sulit untuk mengukur pengaruh nyata boikot terhadap operasional bisnis atau nilai saham perusahaan. Sara Senatore, analis senior di Bank of America, mengatakan bahwa menurutnya penurunan kunjungan ke toko tidak selaras dengan waktu boikot berlangsung. Nick Setian dari Wedbush juga mengatakan bahwa mungkin boikot berdampak sedikit, tapi sangat kecil dan dampaknya tidak akan bertahan lama.
Strategi Howard Schultz
Terlepas dari penyebab penurunan, Howard Schultz menekankan pentingnya introspeksi dan revitalisasi platform pemesanan dan pembayaran seluler untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar yang terus berubah. Schultz mengatakan bahwa Starbucks harus mengurangi waktu tunggu pemesanan, memenuhi permintaan di pagi hari, serta mengajak lebih banyak pelanggan memanfaatkan aplikasinya.
Starbucks juga berencana meluncurkan produk baru berupa minuman mirip boba tea dan menawarkan lima pilihan penyedap bebas gula seperti sirup. Mereka berusaha mempercepat pelayanan dengan mengubah cara pembuatan beberapa jenis minuman dan meluncurkan minuman energi dengan kalori rendah untuk menarik pelanggan yang sadar akan kesehatan.
Momentum untuk Brand Lokal
Penurunan ini sebenarnya menjadi momentum bagi brand-brand lokal untuk bersaing di segmen yang sama. Indonesia adalah salah satu penghasil kopi robusta dan arabika terbesar dengan berbagai aromanya yang khas. Konsumsi kopi di Indonesia mencapai 300.000 ton pada 2020-2021, menjadikannya pasar besar peminum kopi.
Brand kopi lokal seperti Kopi Kenangan menawarkan harga yang lebih terjangkau dibandingkan dengan brand internasional. Mereka juga beroperasi di lokasi yang dekat dengan pemukiman dengan gerai-gerai khasnya. Model bisnis ini membuat mereka lebih leluasa bersaing dengan Starbucks yang lebih memilih lokasi strategis untuk menciptakan suasana nyaman.
Belajar dari Starbucks
Untuk bisa bersaing dengan brand global, pengusaha kafe Indonesia perlu belajar dari Starbucks. Berikut beberapa aspek kunci:
- Hospitality: Pelayanan hangat dan personalitas bisa menjadi diferensiasi signifikan. Pelanggan tidak hanya datang untuk menikmati kopi berkualitas, tetapi juga ingin merasa dihargai.
- Manajemen Bisnis yang Efisien: Pengelolaan operasional yang baik, strategi pemasaran yang cerdas, dan penggunaan teknologi terkini bisa meningkatkan efisiensi dan menarik pelanggan baru.
- Inovasi Produk: Jangan takut bereksperimen dengan rasa dan produk baru. Minuman khas lokal dan varian kopi yang inovatif bisa menjadi daya tarik utama.
- Kuatkan Brand: Bangun cerita tentang merek yang beresonansi dengan nilai dan budaya lokal. Gunakan media sosial dan pemasaran digital untuk menyampaikan pesan tersebut secara luas.
Baca juga:
- Timothy Ronald Bagikan Strategi Ampuh Meraih Kebebasan Finansial di Usia Muda
- Kisah di Balik Strategi Transformasi Digital Freeport: Membuktikan Keuntungan Teknologi dalam Industri Tambang
Dengan langkah-langkah ini, brand kopi Indonesia bisa berkembang dan berpotensi menembus pasar global. Mari kita tunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya kaya akan sumber daya alam, tetapi juga inovasi, kreativitas, dan keramah-tamahan yang memikat hati dalam secangkir kopi. [isr]
Ikuti Kabapedia.com di Google News dan berita lainnya Kabapedia Network di KabaPadang