Oleh: Prof. Dr. Syafruddin Karimi, SE, MA
(Guru Besar Ekonomi Universitas Andalas)
Dunia internasional hari ini tidak hanya menghadapi krisis perdagangan, tetapi juga tragedi kemanusiaan yang memilukan: genosida sistematis di Gaza. Dua fenomena ini, meski tampak berbeda, sesungguhnya terhubung oleh benang merah yang sama: ekonomi sebagai instrumen kekuasaan. Di tengah hiruk-pikuk kebijakan tarif impor Amerika Serikat (AS) di era Donald Trump, penderitaan rakyat Gaza justru semakin tersisih dari panggung global. Keheningan ini bukan kebetulan, melainkan hasil dari rekayasa politik ekonomi yang mengubah perdagangan menjadi senjata dan kemanusiaan menjadi collateral damage.
Baca juga:
- 5 Masalah Sosial Darurat di Indonesia, Refleksi Keringnya Nilai Spiritualitas
- Pasca Wisuda, Mengapa?
Ekonomi sebagai Alat Penindasan Baru
Pada April 2025, Trump mengumumkan kebijakan tarif 10% untuk semua negara, dengan tambahan hingga 42% bagi negara “tidak adil”—termasuk Indonesia. Dampaknya langsung terasa: gejolak pasar, penurunan ekspor, dan ancaman resesi di negara berkembang. Namun, yang lebih berbahaya adalah distraksi masif yang diciptakan. Dunia sibuk mengutak-atik neraca perdagangan, sementara Gaza dibiarkan hancur di bawah pemboman.
Inilah tirani ekonomi zaman baru: kebijakan yang tampak teknis, tetapi sesungguhnya politis. Tarif bukan sekadar proteksi, melainkan alat untuk mengalihkan perhatian, membungkam kritik, dan memaksa negara-negara kecil tunduk pada kepentingan geopolitik AS. Seperti saya sampaikan dalam Journal of Political Economy Review, “Ketika ekonomi dijadikan tameng, hak asasi manusia menjadi korban pertama yang dilupakan.”
Mengapa Dunia Diam?
Laporan Amnesty International dan Human Rights Watch menunjukkan penurunan signifikan dalam kecaman internasional terhadap Israel. Alasannya jelas: ketakutan akan pembalasan ekonomi. Negara-negara yang bergantung pada ekspor ke AS atau menerima bantuan militernya memilih bungkam. Contoh nyata adalah Uni Eropa, yang meski kerap bersuara lirih tentang Gaza, tidak berani mengambil sanksi berarti karena ancaman tarif balasan.
Indonesia pun terjebak dalam dilema serupa. Di satu sisi, nilai ekspor tekstil ke AS mencapai USD 4,8 miliar (2024), yang kini terancam tarif membelit. Di sisi lain, sebagai bangsa yang sejak lama mendukung Palestina, kita dihadapkan pada pertanyaan moral: apakah kepentingan ekonomi boleh membungkam suara hati nurani?
Indonesia di Persimpangan
Kita tidak boleh terjebak dalam false dilemma: seolah harus memilih antara stabilitas ekonomi dan solidaritas kemanusiaan. Ada jalan tengah yang bisa diambil:
- Diversifikasi Pasar: Kurangi ketergantungan pada AS dengan membuka pasar baru di Afrika, Timur Tengah, dan Asia Selatan.
- Diplomasi Solidaritas: Bentuk aliansi dengan negara-negara Global South untuk menciptakan blok perdagangan yang berprinsip pada keadilan.
- Kebijakan Fiskal Pro-Rakyat: Perkuat pasar domestik dan industri padat karya untuk menahan guncangan eksternal.
- Advokasi Global: Dorong forum internasional yang mengaitkan etika perdagangan dengan HAM, agar isu Gaza tidak lagi diabaikan.
Penutup: Ekonomi Harus Punya Hati Nurani
Kebijakan tarif Trump hanyalah gejala dari penyakit yang lebih besar: sistem ekonomi global yang mengizinkan kekerasan selama menguntungkan kekuasaan. Gaza adalah ujian bagi kita semua: apakah ekonomi akan terus menjadi mesin penindas, atau bisa diarahkan sebagai alat pemerdekaan?
Baca juga:
Sebagaimana saya tegaskan dalam pidato di Forum Ekonomi Dunia, “Angka-angka di neraca dagang tidak boleh lebih penting dari nyawa manusia.” Indonesia harus memimpin dengan contoh: menolak tirani tarif, sekaligus menolak kebisuan atas Gaza. Karena pada akhirnya, ekonomi tanpa moral adalah bencana—dan sejarah akan mencatat siapa yang berdiri di pihak yang benar. Kita tidak boleh diam. Gaza menunggu. [***/Kpd]
Ikuti Kabapedia Network di Google News dan KabaPadang