Strategi The New York Times, Berjaya saat yang lain Mati!!

oleh -230 Dilihat
Strategi The New York Times. Berjaya di saat media lain mati kena disrupsi. Ilustrasi [Foto: Dok. YouTube/Dr. Indrawan Nugroho]

Kabapedia.com – Industri media tradisional, khususnya koran cetak, mungkin sudah hampir mati. Namun, tidak demikian dengan The New York Times. Setelah mengalami kegagalan dalam transformasi berkali-kali, media cetak legendaris asal Amerika Serikat ini bukan hanya selamat, tetapi juga berjaya di era digital saat ini. Sementara para pesaingnya mulai berguguran satu per satu karena disrupsi, apa yang dilakukan The New York Times berbeda? Apa strategi dan inovasi mereka? Bagaimana proses transformasinya?

Baca juga:

Sebagian besar dari kita pasti mengenal The New York Times sebagai koran yang terbit sejak tahun 1851, terkenal karena reputasinya sebagai pelopor jurnalisme berkualitas. The New York Times menjadi tersohor ketika menjadi koran pertama yang mengabarkan tenggelamnya Titanic pada tahun 1912, dan meraih Pulitzer Prize pada tahun 1918 setelah mempublikasikan teks pidato dan dokumen rahasia Perang Dunia Pertama. Reputasi mereka sebagai koran acuan pertama untuk berita-berita berkualitas terus menguat, sehingga selama beberapa dekade The New York Times menjadi pilihan utama bagi mereka yang haus akan informasi global.

Reputasi positif ini berasal dari tradisi liputan yang komprehensif, investigasi yang mendalam, serta narasi yang memikat, sehingga menghasilkan karya jurnalistik yang utuh, akurat, dan mendalam. Namun, pada tahun 2000-an, sebuah era baru lahir ketika media digital mulai menguat dan perlahan-lahan meminggirkan peran media cetak sebagai sumber utama informasi. Dengan munculnya internet dan media sosial seperti Facebook dan Twitter, banyak orang mulai mengandalkan platform digital untuk mendapatkan berita terbaru, dan kebiasaan untuk menunggu koran pagi mulai ditinggalkan.

Perubahan ini juga berdampak pada iklan-iklan di media cetak, yang mulai tergerus oleh iklan digital yang dianggap lebih efektif. Teknologi seperti programmatic buying memungkinkan pengiklan untuk menargetkan audiens dengan lebih akurat dan biaya yang lebih rendah. Pertumbuhan pesat media digital membuat The New York Times, bersama dengan koran-koran lain di seluruh dunia, mulai limbung. Banyak koran besar yang akhirnya menyerah dan menghilang dari percaturan bisnis media.

The New York Times sadar bahwa mereka harus segera beradaptasi dengan situasi baru ini. Namun, adaptasi bukanlah perkara mudah. Mereka harus mengubah model bisnis yang sudah dijalani selama puluhan tahun sambil mengubah produk cetak menjadi produk digital. Mereka juga menyadari bahwa pembaca sekarang memerlukan berita yang lebih lengkap daripada yang tersedia di situs web. Akibatnya, para jurnalis dan redaktur dituntut untuk menyediakan berita yang tidak hanya cepat tetapi juga akurat.

Namun, pada saat itu, The New York Times belum memiliki strategi dan teknologi digital yang memadai untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pengembangan aplikasi dan produk digital membutuhkan investasi besar. Sementara itu, media digital seperti BuzzFeed dan HuffPost semakin banyak bermunculan, memanfaatkan kekuatan internet dan media sosial untuk menyampaikan berita dengan cara yang inovatif. Facebook, Twitter, dan Instagram juga semakin kuat berperan sebagai sumber berita bagi generasi muda, yang merupakan calon pembaca The New York Times di masa depan.

Menghadapi situasi ini, The New York Times dikejar waktu untuk segera membangun platform digital agar dapat bersaing dengan inovasi-inovasi perusahaan teknologi. Ketika tuntutan adaptasi semakin kuat, mereka menghadapi dilema besar. Di satu sisi, mereka masih bergantung pada pendapatan iklan dan langganan koran, meskipun pelanggan koran sudah berkurang dan kue iklan cetak terus menciut. Di sisi lain, transisi ke media digital berisiko besar karena pendapatan iklannya sedikit dan investasinya tidak kecil. Selain itu, perusahaan teknologi besar seperti Google dan Facebook sudah menguasai sebagian besar kue iklan yang ada.

Para eksekutif The New York Times juga khawatir bahwa integritas jurnalistik mereka akan terkikis akibat berkembangnya media digital, yang sering kali hanya mengandalkan engagement dan konten sensasional atau clickbait. Jika mereka ikut menggunakan model seperti itu, jelas reputasi mereka sebagai sumber berita terpercaya akan rusak.

Untuk keluar dari situasi ini, The New York Times melakukan empat aksi strategis dalam transformasi digitalnya:

  1. Peluncuran Situs Web: Pada tahun 1996, The New York Times meluncurkan situs web pertamanya, di mana pembaca bisa mengakses konten secara gratis dengan mendaftar. Namun, strategi ini hanya memindahkan konten fisik ke format digital dan sulit bersaing dengan media digital murni seperti HuffPost dan BuzzFeed yang sudah menerapkan strategi digital lebih canggih.
  2. Transformasi Bisnis: Setelah menyadari kekurangannya, The New York Times melakukan transformasi digital menyeluruh dan menargetkan kenaikan jumlah pelanggan. Mereka berinvestasi besar-besaran dengan meluncurkan entitas baru seperti New York Times Digital pada tahun 1999, Times Reader pada tahun 2006, Paywall pada tahun 2011, dan Beta pada tahun 2013. Meskipun pendapatan iklan digital menurun, CEO mereka mendorong model berlangganan, yakin bahwa orang akan tetap membayar untuk berita berkualitas.
  3. Perombakan Struktur Perusahaan: Dimulai pada tahun 2015, mereka merombak struktur perusahaan menjadi lebih agile. Mereka menetapkan pendapatan digital dua kali lipat dalam 5 tahun dan memfokuskan diri pada model langganan. Pemimpin redaksi Dean Baquet dan COO Meredith Kopit Levien mereorganisasi tim menjadi berstruktur matriks, di mana para pemimpin tim diberi kekuasaan penuh untuk membuat keputusan berdasarkan data.
  4. Eksperimentasi dan Inovasi: The New York Times menerapkan metode agile untuk mengembangkan produk-produk inovatif. Grup inkubator internal mereka, Beta, mendorong lahirnya produk-produk sukses seperti aplikasi Cooking dan Crossword. Mereka juga berhasil meluncurkan podcast berita The Daily, yang meraih lebih dari 40 juta unduhan dalam 3 bulan pertama.

Transformasi digital The New York Times mulai membuahkan hasil. Pada tahun 2017, pelanggan berbayar mereka mencapai 3 juta, angka yang luar biasa karena tidak ada koran lain di Amerika Serikat yang memiliki pelanggan sebanyak itu. Setahun kemudian, jumlahnya melonjak menjadi lebih dari 4 juta. Pada tahun 2021, jumlah pelanggan mencapai 5,7 juta, dan terus melaju menuju target ambisius mereka yaitu 10 juta pelanggan pada tahun 2025.

Keberhasilan ini sangat relevan dengan kondisi media cetak di tanah air yang memprihatinkan. Data dari Serikat Perusahaan Pers menyebutkan bahwa pada tahun 2021 masih ada 593 perusahaan pers yang bertahan, namun pada tahun 2022 jumlahnya sudah menciut menjadi 399 perusahaan, sebagian besar karena menyusutnya kue iklan cetak.

Baca juga:

Sukses transformasi digital The New York Times dapat menjadi cermin bagi perusahaan pers di Indonesia. Mereka menunjukkan bahwa transformasi digital tidak sekadar memindahkan konten cetak ke digital, tetapi juga menawarkan konten premium yang layak dibayar. Mereka merombak struktur perusahaan agar lebih adaptif dan memastikan setiap keputusan didukung oleh data yang akurat. Dengan keberanian bereksperimen dan berinovasi, The New York Times berhasil menemukan cara untuk terus relevan di tengah perubahan dunia jurnalistik. Transformasi ini mengajarkan bahwa ketika dihadapkan pada perubahan, yang perlu diutamakan bukan hanya soal bertahan, tetapi keberanian berinovasi dengan strategi yang matang. [isr]

 

Ikuti Google News dan KabaPadang dari Kabapedia Network