Sritex, Prabowo, dan Masa Depan Industri Tekstil Kita

oleh -67 Dilihat
Sritex, Prabowo, dan Masa Depan Industri Tekstil Kita. [Foto: Dok. Ist]

Jakarta, Kabapedia.com – Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan kementerian terkait untuk mencari solusi dalam menyelamatkan PT Sri Rejeki Isman Tbk, atau yang lebih dikenal sebagai Sritex. Perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara ini kini berada di ujung kebangkrutan. Dampak dari krisis ini tidak main-main—PHK massal bagi ribuan karyawan, yang pada puncaknya pernah mencapai 50.000 orang.

Baca juga:

Namun, pertanyaannya adalah, apakah upaya penyelamatan ini sepenuhnya tepat? Yuk simak ulasan Kabapedia.com berikut:

Sejak 2021, Sritex mencatat kerugian besar—1,08 miliar USD atau setara Rp15,66 triliun. Penjualannya anjlok hingga 33,93%, sementara beban operasional terus meningkat. Bahkan, pada 2022, Bursa Efek Indonesia mensuspensi saham Sritex karena kondisi keuangannya yang semakin kritis. Upaya restrukturisasi utang senilai Rp2 triliun melalui proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sempat memberikan harapan. Namun, pada 2023, liabilitas Sritex melonjak menjadi 1,6 miliar USD, meninggalkan perusahaan dalam posisi ekuitas negatif.

Krisis memuncak pada Agustus 2024 ketika pengadilan menyatakan Sritex pailit. Langkah ini memicu perhatian Presiden Prabowo, yang khawatir dampaknya terhadap stabilitas nasional.

Sritex memiliki sejarah panjang yang penuh liku. Didirikan oleh HM Lukminto, seorang pengusaha Tionghoa asal Nganjuk, Jawa Timur, Sritex tumbuh dari bisnis kecil di Pasar Klewer menjadi raksasa tekstil. Bermula dari kain blacu, Sritex perlahan mendominasi pasar domestik dan global, hingga dipercaya memproduksi seragam militer untuk NATO dan berbagai negara.

Di era 1990-an, Sritex memonopoli penyediaan seragam instansi pemerintah Indonesia dan berhasil menembus pasar internasional, memasok bahan untuk merek-merek terkenal seperti Uniqlo, Zara, dan Timberland. Namun, kesuksesan ini mulai meredup saat pandemi COVID-19 melanda.

Penyebab Kemunduran

Pandemi mengubah gaya hidup masyarakat, mengurangi kebutuhan akan pakaian formal dan seragam. Gangguan rantai pasok global, ditambah konflik geopolitik seperti perang Rusia-Ukraina, memperburuk keadaan. Di sisi domestik, tekstil lokal terhimpit oleh serbuan produk impor murah, yang harganya bisa 50% lebih rendah dari produk dalam negeri.

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024, yang menghapus persyaratan teknis impor, turut memperparah situasi. Industri tekstil dalam negeri kehilangan perlindungan, dengan lebih dari 30 perusahaan bangkrut hingga akhir 2024.

Namun, tidak semua sepakat bahwa faktor eksternal adalah penyebab utama kejatuhan Sritex. Menteri Ketenagakerjaan menyebut kelalaian manajemen dalam mengelola utang sebagai akar masalah. Ekonom Universitas Indonesia, Fitra Faisal Hastiadi, menambahkan bahwa beban biaya tenaga kerja dan sulitnya akses bahan baku juga menjadi kendala besar.

Apa Selanjutnya?

Di tengah krisis, Sritex masih beroperasi, meski dengan tanda duka berupa pita hitam bertuliskan “Selamatkan Sritex.” Upaya kasasi ke Mahkamah Agung tengah dilakukan, sementara pemerintah memantau situasi dengan seksama.

Namun, solusi jangka panjang tidak hanya bergantung pada bailout atau dukungan pemerintah. Sritex dan pelaku industri tekstil lainnya harus membangun kembali fondasi bisnis mereka. Diversifikasi produk, eksplorasi pasar baru, dan adopsi teknologi industri 4.0 bisa menjadi kunci keberlanjutan.

Kisah Sritex adalah pengingat bahwa bisnis besar sekalipun rentan terhadap badai ekonomi jika tidak dikelola dengan baik. Dunia usaha tidak hanya tentang meraih keuntungan, tetapi juga tentang kemampuan membaca arah angin dan menyesuaikan layar.

Baca juga:

Di tengah gelombang tantangan ini, industri tekstil Indonesia harus bertransformasi—bukan sekadar bertahan, melainkan menaklukkan setiap gelombang yang datang. Dengan langkah strategis dan inovasi, sektor ini masih memiliki peluang untuk bangkit, menyumbang stabilitas ekonomi, dan mengharumkan nama bangsa di pasar global. [isr]

 

Ikuti Google News dan KabaPadang dari Kabapedia Network 

No More Posts Available.

No more pages to load.