Penegakan Keadilan, Hukum dan Kesaksian (Analisis makna dan sosio-historis terhadap ayat Alquran QS Al-Nisa’:135)

oleh -607 Dilihat
Penegakan Keadilan dalam Islam. [Ilustrasi: Dok. Kabapedia.com]

Oleh: Ilhamni

Ilhamni, akademisi prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, UIN Imam Bonjol Padang. [Foto: Dok. Ist]
Penegakan keadilan dalam hukum serta kesaksian merupakan perbincangan penting dalam Islam khususnya Alquran untuk menjaga stabilitas dan kesejahteraan masyarakat. Perbincangan ini juga menjadi sebuah isu yang hangat dibicarakan apalagi dalam konteks pesta demokrasi pemilihan umum kepala pemerintahan Republik Indonesia yang akan digelar tanggal 14 Januari 2024 tahun ini.

Penulis dalam tulisan ini tidak melihat isu ini dalam konteks politik, tapi melihat bagaimana al-Qur’an membicarakan persoalan penegakan keadilan hukum dan kesaksian ini dan dipahami oleh para penafsir Alquran. Dalam kesempatan ini penulis mencoba menganalisis makna dan konteks sosio-historis ayat yang terdapat dalam QS al-Nisa’:135.

Wahai orang-orang yang beriman ! Jadilah kamu penegak keadilan , menjadi saksi karena Allah , walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. (Jika dia yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu (kemaslahatan/kebaikan) keduanya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.

Sebab turun ayat menurut tafsir al-Thabari dan Wahbah Zuhaili bahwa ada dua orang yang bertengkar datang kepada Nabi Muhammad Saw. Kecenderungan hatinya kepada sang fakir, menurut pandangan Nabi, orang fakir ini tidak mungkin menzalimi orang kaya, namun Allah memerintahkan Nabi melalui ayatnya untuk menegakkan keadilan terhadap orang yang kaya ataupun fakir.

Konteks sosial orang-orang Arab ketika diturunkan Alquran adalah bahwa masyarakat hidup dalam keadaan bersuku-suku dan berkelompok-kelompok yang sangat mengagungkan kekerabatan sebagai penopang eksistensi suku dan kelompoknya. Fanatisme kesukuan atau kelompok merupakan sesuatu yang akrab dan kental dalam kehidupan masyarakat saat itu. Mereka akan membantu dan membela saudara sesuku atau kelompok, karena sumber kekuatan mereka ketika itu berada dalam kuantitas. Kuantitas yang banyak akan memberikan kekuatan dan kekuasaan melebihi suku atau kelompok yang lain. Suku atau kelompok yang kuat itulah yang berkuasa terhadap suku dan kelompok yang lemah sehingga suku atau kelompok yang lemah itu akan hidup tertindas dan terabaikan hak-haknya serta berada di bawah kendali kekuasaan.

Ketika itu juga terdapat kebiasaan dimana masyarakat memberikan kesaksian untuk membela suku atau kelompok yang notabene dasarnya diikat oleh kedekatan meskipun dengan cara menyembunyikan kesaksian atau memutarbalikkan fakta. Seseorang bisa saja memberikan kesaksian terhadap anak, orang tua, saudara atau yang memiliki kekerabatan dan kedekatan atau berpaling dan menyembunyikan kesaksian karena rasa kasihan melihat kesusahan mereka, sampai mereka mendapatkan kemudahan dan dijatuhkan hukum yang ringan apabila berada dalam kasus tertentu.

Dua hal penting dipesankan dan diingatkan oleh ayat Alquran tersebut dalam konteks sosial seperti yang penuh sikap fanatisme ini yaitu mengenai penegakan keadilan dalam hukum dan memberikan kesaksian secara benar terhadap sesuatu.

Pertama: Penegakan keadilan dalam hukum dipandang sebagai konsekuensi keimanan kepada Allah. Setiap pribadi yang mengaku beragama Islam dan mengaku beriman kepada Allah, ia diwajibkan untuk menegakkan keadilan hukum. Walaupun itu harus berhadapan dengan berbagai kepentingan diri sendiri atau kasih sayang terhadap orang-orang terdekat seperti orang tua, anak, adik, kakak, tante, paman atau siapa saja yang memiliki kedekatan. Keadilan dalam hukum harus ditegakkan meskipun berhadapan dengan orang kaya ataupun miskin. Allah mengingatkan manusia bahwa hubungan antara anak dengan orang tua atau hubungan kekerabatan dapat membuat seseorang berpaling dari penegakan keadilan dan pemberian kesaksian. Hasil bisa menguntungkan pihak tertentu dikarenakan berbagai kepentingan relasi atau disebabkan cinta walaupun bertentangan dengan keadilan atau aturan. Kepentingan di sini berhubungan dengan hawa nafsu dan hawa nafsu itu sendiri bisa membawa kepada penyimpangan.

Menurut Tafsir al-Manar keadilan bisa berfungsi memelihara aturan dan menegakkan berbagai urusan masyarakat, keadilan itu sendiri sebagai bentuk kesaksian terhadap Allah dengan kebenaran. Tegaknya keadilan seharusnya tidak terhalang karena kekayaan seseorang atau sebaliknya ia tidak terhalang karena kasihan terhadap kemiskinan seseorang. Demikian juga tegaknya keadilan tidak seharusnya terhalang oleh hubung kekerabatan atau kedekatan apapun. Keadilan dan kebenaran lebih dikedepankan ketimbang kepentingan individu dan kelompok yang berdasarkan hubungan kekeluargaan atau kekerabatan.

Kemudian ayat ini turun memberikan peringatan terhadap perilaku seperti ini. Kata Qawwamun bi al-qist bermakna orang-orang yang menegakkan keadilan dengan cara yang paling sempurna, dan berkelanjutan atau konsisten.Tuntutan berperilaku lurus tidak bengkok. Keadilan diibaratkan dinding yang harus ditegakkan secara lurus, sehingga ia tidak runtuh dan akan memberi manfaat. Manakala sebuah dinding tidak tegak lurus maka ia akan mudah runtuh dan menimpa orang yang berada di sekitarnya.

Menegakkan keadilan dalam hukum adalah hal yang mutlaq dan tidak bisa ditawar tawar. Prinsip ini disampaikan oleh al-Qur’an dalam berbagai ungkapan . Keadilan dituntut dalam berbagai segi kehidupan dan berbagai objek seperti terhadap anggota keluarga dan orang-orang yang memiliki kedekatan. Keadilan hukum bagi seluruh anggota masyarakat ditegakkan oleh pejabat hukum atau yang diberi amanah kekuasaan. Jika umat Islam menjadikan hal ini sebagai petunjuk dan pegangan, maka mereka akan menjadi umat yang kuat. Nabi sendiri pernah mengatakan “Kalaulah Fatimah mencuri, akulah yang akan memotong tangannya” Itulah bentuk ketegasan dan perjuangan yang dilakukan oleh Nabi sebagai pemimpin agama juga pemimpin Negara walaupun ia berhadapan dengan rasa cinta terhadap anak perempuannya. Hal ini dipastikan oleh Nabi demi perubahan masyarakat dan demi kepastian hukum serta kepercayaan masyarakat ketika itu di tengah budaya kelompok disertai fanatisme yang telah mengakar.

Kata syuhada’ lillah memiliki makna menjadi saksi bagi Allah di dengan maksud berhati-hati
dan selalu berpegang teguh dengan kebenaran yang diridhai dan diperintahkan oleh Allah. Seseorang berkewajiban bersaksi terhadap sesuatu dengan benar dan tujuannya adalah menghadirkan kebenaran, lagi-lagi walaupun itu akan berhadapan dengan orang-orang yang dicintai seperti orang tua, anak, dan saudara sendiri atau orang-orang yang memiliki kedekatan. Seorang muslim dituntut untuk tidak berpaling dari kebenaran demi membela mereka yang memiliki kedekatan. Dalam hidup, berbuat kebaikan dan memelihara kekerabatan dasarnya adalah kebenaran. Orang-orang yang bekerja sama dalam kezaliman bisa meruntuhkan hak-hak orang lain dan tidak bisa memberikan rasa aman. Melibatkan rasa cinta dalam kesaksian hanya akan dapat menimbulkan kerusakan dan memberikan mudharat yang berlaku bagi orang banyak, sekalipun ia memberikan maslahat bagi keluarga sendiri, atau orang-orang terdekat.

Syari’at Allah dan kebenaran lebih berhak diikuti. Tidaklah dicintai orang kaya karena harap kebaikan atau takut kepadanya atau kasihan terhadap orang fakir karena kefakirannya. Manusia tidaklah lebih cinta kepada orang fakir atau lebih memberikan maslahat pada karib kerabat dibanding Allah SWT. Penegakan keadilan dan menjaga kesaksian yang benar lebih baik bagi saksi itu sendiri dan orang yang diberi kesaksian.

Nabi pernah mengatakan perkataan yang indah , “Wahai anak cucu Adam, berikanlah kesaksian meskipun terhadap dirimu sendiri, orang tua dan karib kerabat atau orang yang memiliki kedekatan dan juga terhadap orang terhormat di antaramu, Kesaksian hanya diberikan karena Allah bukan karena manusia. Allah ridha menegakkan keadilan untuk diri-Nya dan karena keadilan itu sendiri. Keadilan adalah timbangan Allah di permukaan bumi. Dengan keadilan itu akan diberikan/dikembalikan hak orang lemah dari yang kuat dan dari orang yang berbohong kepada orang yang jujur serta dari orang yang berbuat kecurangan terhadap orang yang berbuat benar. Dengan keadilan orang benar akan dikatakan benar dan orang bohong akan dikatakan bohong. Allah mencela dan menolak orang yang melampaui batas. Dengan keadilan masyarakat akan menjadi baik. Wahai Bani Adam, jika ia (orang yang diberi kesaksian) adalah kaya atau miskin, maka Allah lebih utama dari mereka. Allah mengatakan bahwa Aku lebih utama dari orang kaya dan miskinmu. Janganlah kekayaan atau kefakiran seseorang menjadi penghalang bagimu berlaku adil, Hendaklah engkau bersaksi terhadap mereka berdasarkan pengetahuanmu terhadap kebenaran.

Sebagai konsekuensi memberikan kesaksian yang benar, Allah melarang dalam ayat ini memutarbalikkan kebenaran atau fakta. Dalam penghujung ayat ini diperingatkan bahwa Allah Maha Tahu dengan apa yang dilakukan manusia, walaupun manusia lain tidak mengetahui. Orang yang memutarbalikkan kebenaran adalah orang yang tahu dan mengerti bahwa apa yang disampaikannya itu seolah olah benar. Allah memiliki sifat Khabir dengan pengertian bahwa pengetahuan terhadap sesuatu secara detail walaupun tersembunyi dari penglihatan dan pengetahuan manusia lain. Seseorang terkadang mau menipu dirinya sendiri dan mencari pembenaran serta menyembunyikan kesaksian dengan merubah kebenaran atau melakukan kebohongan dan pemutarbalikkan fakta atau kebenaran. Talwu dengan makna sengaja berbohong dan memutarbalikkan kebenaran, bertele-tele dalam hukum, meskipun kebenaran sudah jelas. Tu’ridhu dengan makna menyembunyikan dan meninggalkan kesaksian. Firman Allah “Siapa yang menyembunyikan kesaksian maka hatinya berdosa (al-Baqarah: 283).

Tafsir al-Manar, Tafsir Hadis diriwayatkan oleh Muslim, Nabi berkata (dalam terjemah), Ingatlah aku beritahukan kepadamu saksi yang paling baik adalah ketika ia memberikan kesaksian sebelum diminta. Jika kamu berpaling, maka Allah Maha mengetahui dengan dirimu. Ayat ini memuat prinsip hukum dan kewajiban pelaksanaannya di tengah masyarakat.dan menegakkannya atas dasar keadilan, memberikan kesaksian berdasarkan kebenaran atau fakta bukan disebabkan kecintaan pada salah satu pihak yang bersengketa.

Dalam ayat dilarang mengikuti hawa nafsu, karena mengikuti hawa nafsu merupakan pokok berbagai kehancuran. Menegakkan keadilan karena perintah dari Allah, bukan karena tuntutan atau tujuan-tujuan keduniaan dan bukan karena keinginan pribadi atau kecintaan pada orang-orang yang memiliki kedekatan.

Baca juga:

Pesan untuk penegakan keadilan hukum dan pemberian kesaksian yang benar merupakan kewajiban yang memiliki dasar kuat dalam ajaran al-Qur’an. Keadilan hukum ditegakkan oleh yang berwenang terhadap semua orang tanpa pandang bulu dengan mengenyampingkan kepentingan suku atau kelompok yang disebabkan oleh adanya hubungan kekerabatan atau kedekatan. Demikian juga dengan kesaksian yang memenuhi unsur kebenaran atau kesesuaian dengan fakta, harus diberikan untuk menjamin sebuah hukum yang berkeadilan. Kesaksian seharusnya tidak didasarkan pada kepentingan apapun, baik diri sendiri, keluarga atau kelompok. [***]

Tentang Penulis: (Akademisi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Imam Bonjol –
Email: [email protected]]

 

Ikuti Kabapedia.com di Google News

No More Posts Available.

No more pages to load.