Pakar UNAND: Program MBG Harus Berbasis Bukti dan Sinergi

oleh -31 Dilihat
Sejumlah siswi Sekolah Dasar menikmati Program Makan Bergizi Gratis saat di sekolah. [Foto: Dok. Ist]

Padang, Kabapedia.com – Universitas Andalas (Unand) kembali menunjukkan komitmennya dalam mendorong kebijakan berbasis ilmu pengetahuan. Kali ini, melalui pandangan Prof. Dr. Defriman Djafri, pakar Kesehatan Masyarakat Unand, yang menekankan pentingnya desain dan implementasi Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) berbasis bukti, tepat sasaran, dan berkelanjutan.

Baca juga:

Dalam wawancara eksklusif, Prof. Defriman menyatakan, beban ganda malnutrisi—baik kekurangan maupun kelebihan gizi—masih menjadi masalah serius di Indonesia.

“Kesenjangan antarwilayah memperburuk situasi. Intervensi berbasis sekolah adalah langkah strategis, tetapi efektivitasnya bergantung pada pelaksanaan yang presisi,” tegasnya.

Ia menyarankan program MBG dimulai dari daerah paling rentan, khususnya wilayah dengan tingkat stunting di atas rata-rata nasional. Selain itu, pendidikan gizi harus masuk dalam kurikulum sekolah. “Indonesia jangan hanya menyediakan makanan gratis, tapi juga membangun kesadaran gizi. Kita bisa belajar dari Thailand,” ujarnya.

Menanggapi tantangan standar gizi yang berbeda di tiap daerah, Prof. Defriman menyarankan pendekatan berlapis. “Nutrisi inti wajib mengikuti standar WHO, tetapi harus fleksibel dengan bahan pangan lokal agar lebih diterima anak-anak,” jelasnya. Ia menekankan pentingnya pemetaan pangan lokal untuk memastikan intervensi gizi tetap relevan dan terukur.

Evaluasi jangka panjang menjadi sorotan utama. Prof. Defriman menyebut sejumlah indikator kunci, seperti ukur antropometri, prevalensi anemia, performa kognitif, hingga risiko penyakit tidak menular. “Indonesia perlu sistem pemantauan terintegrasi antara data kesehatan dan pendidikan. Data longitudinal sangat krusial,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan pentingnya transparansi data, mengacu pada perbedaan angka stunting antara SSGI dan e-PPGM. “Sistem ini harus bisa diakses sekolah, pemerintah, bahkan publik. Ini bukan hanya untuk evaluasi, tapi juga akuntabilitas,” tegasnya.

### **Kolaborasi Lintas Sektor: Belajar dari Negara Lain**
Prof. Defriman mengakui bahwa koordinasi lintas sektor masih menjadi tantangan. “Sekolah harus aktif dalam pendidikan gizi, tenaga kesehatan perlu membimbing, dan pemerintah daerah wajib menyinergikan sumber daya,” ungkapnya.

Ia mencontohkan keberhasilan Filipina, Vietnam, Thailand, dan Brasil, di mana kolaborasi dilakukan melalui kebun sekolah, pertanian keluarga, hingga integrasi dana pusat-daerah.

“Kuncinya ada pada komite kota/kabupaten yang aktif dan representatif,” tegasnya.

Ketika diminta memberikan rekomendasi utama, Prof. Defriman menekankan aspek implementasi. “SOP harus tegas, pemantauan harus berjalan, dan evaluasi harus terbuka untuk publik. Jika tidak, program ini bisa jadi ladang korupsi dan uang negara habis tanpa dampak nyata,” tegasnya.

Baca juga:

Sebagai bagian dari Unand—kampus yang konsisten mendorong kebijakan berbasis riset—Prof. Defriman berharap MBG tidak sekadar wacana populis. “Ini soal masa depan anak-anak kita. Jangan serahkan pada retorika, tapi pada data, ilmu, dan kolaborasi nyata,” pungkasnya. [isr]

 

Ikuti Kabapedia Network di  Google News dan KabaPadang

No More Posts Available.

No more pages to load.