Jakarta, Kabapedia.com – “Kampus Disandera Pinjol! Mengapa Pendidikan Kita Begitu Komersial?”. Baru-baru ini, muncul isu hangat tentang universitas-universitas atau kampus yang mempromosikan pinjaman online (pinjol) kepada mahasiswa yang kesulitan membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT), dengan bunga mencapai 2% per bulan.
Mahasiswa menolak kebijakan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang mengharuskan mereka yang tidak mampu untuk menggunakan pinjaman online dalam membayar UKT. Namun, sebelum kita mendalami fenomena pinjaman online di kampus, mari kita telusuri akar masalahnya: komersialisasi sistem pendidikan.
Baca juga:
- 5 Jurusan Pendidikan Tinggi yang Dicari Google, Lulusannya Sukses Digaji Besar
- Mengenal Pinpri yang Dinilai Lebih Kejam dan Pinjol
Sejarah Pendidikan: Dari Yunani Kuno hingga Sekolah Modern
Tidak banyak yang menyadari bahwa kata ‘sekolah’ secara harfiah berarti ‘waktu luang’ atau ‘waktu senggang’, sebuah konsep yang berasal dari Yunani Kuno. Orang Yunani kuno mengisi waktu luang mereka dengan belajar dari orang-orang yang dianggap bijaksana. Kegiatan ini disebut ‘seolai’, ‘sekolae’, atau ‘sekola’, yang berarti menggunakan waktu luang khusus untuk belajar. Tradisi ini kemudian berkembang menjadi kebiasaan yang diterapkan pada anak-anak, terutama anak laki-laki yang diharapkan menjadi penerus ayah mereka.
Ketika kehidupan menjadi semakin sibuk, anak-anak yang tidak mendapat pengajaran dari orang tua mereka dititipkan kepada orang yang dianggap paham atau pandai. Tidak ada kurikulum tetap; anak-anak bebas mengeksplor, bermain, berlatih, dan belajar apa saja yang mereka anggap penting untuk masa depan mereka. Fungsi sekolah sebagai ‘inloco parentis’, atau pengasuhan anak pengganti orang tua, mulai berkembang.
Meskipun kita mengenal konsep sekolah dari Yunani Kuno, bangsa Cina dan kaum Brahmin di India juga telah memulai tradisi pendidikan ribuan tahun sebelumnya. Di Indonesia, tradisi pendidikan diwarisi dari India dengan ‘asram’ dan dari tradisi Jazirah Arab dengan ‘madrasah’.
Pergeseran Fungsi Sekolah: Dari Waktu Luang Menjadi Institusi Pendidikan
Tidak ada yang tahu pasti kapan pergeseran fungsi sekolah dari kegiatan belajar mengisi waktu luang menjadi sistem kelembagaan pendidikan yang kini menjadi kewajiban untuk mendapatkan pengakuan atau sertifikasi tertentu. Masih ada sekolah yang sejalan dengan sejarah, yang tidak memiliki daftar mata pelajaran baku, jadwal belajar resmi, atau ujian kolektif. Yang terpenting adalah kebebasan murid untuk memilih dan menentukan sendiri apa yang ingin mereka pelajari.
Namun, banyak lembaga pendidikan kini telah beradaptasi dengan pendidikan modern, menyediakan ijazah dan sertifikat. Pesantren dan Sekolah Alam di Indonesia, misalnya, telah mengintegrasikan kurikulum resmi dan menawarkan gelar akademis, mengikuti arus atau tekanan pandangan masyarakat.
Di Indonesia, Sekolah Tinggi Wiraswasta di Pondok Gede, Jakarta Timur, didirikan pada tahun 1979 dengan gagasan yang berbeda. Sekolah ini tidak memberikan ijazah atau gelar akademis, dengan tujuan mencetak lulusan yang mandiri dan berkarya. Sayangnya, karena gagasannya yang unik, sekolah ini hanya bertahan selama tiga tahun sebelum dibubarkan pada tahun 1981 karena kurangnya peminat dan dukungan finansial.
Dengan kondisi saat ini, sulit untuk mewujudkan gagasan lembaga pendidikan yang sesuai dengan sejarah dan hakikatnya, yaitu belajar untuk mengisi waktu luang. Sekolah-sekolah yang menyimpang dari stereotip masyarakat sering dianggap aneh dan tidak layak. Namun, penting untuk mengingat bahwa pendidikan sejati bukanlah tentang ijazah atau gelar, melainkan tentang ilmu dan amalan yang dapat diterapkan dalam kehidupan.
Pendidikan di Indonesia: Antara Eksklusivitas dan Tantangan Ekonomi
Di era modern ini, sekolah-sekolah di Indonesia telah bertransformasi menjadi institusi yang eksklusif dan elitis. Akses pendidikan yang seharusnya merata kini tampak hanya bisa diraih oleh mereka yang memiliki kemampuan finansial di atas rata-rata. Meskipun pemerintah telah mengalokasikan 20% dari anggaran negara untuk pendidikan—yang pada tahun ini mencapai angka fantastis sebesar 660,8 triliun rupiah—pendidikan masih terasa seperti barang mewah yang sulit dijangkau oleh rakyat.
Baru-baru ini, isu mengenai kesulitan pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang kerap meningkat setiap tahun menjadi sorotan hangat. Banyak mahasiswa yang terbebani biaya pendidikan yang tinggi, dan ironisnya, solusi yang ditawarkan oleh lebih dari 50 universitas bukanlah bantuan finansial, melainkan promosi pinjaman online (pinjol) sebagai ‘solusi’. Dengan bunga sekitar 2% per bulan, atau total bisa mencapai 24% per tahun, mahasiswa yang terjerat pinjol kini menghadapi ancaman beban finansial yang berat, dengan risiko gagal bayar dan denda harian yang menumpuk.
Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012, Pasal 76 Ayat 2 Butir c, mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi berhak menyelesaikan studi dengan pinjaman dana tanpa bunga yang harus dilunasi setelah lulus atau mendapatkan pekerjaan. Ini menunjukkan bahwa negara dan institusi pendidikan wajib menyediakan pinjaman tanpa bunga tersebut. Namun, kenyataannya di Indonesia, sistem pinjaman pendidikan atau ‘student loan’ yang telah diterapkan dengan baik di negara-negara seperti Australia, Denmark, Inggris, Amerika Serikat, Korea Selatan, Jepang, Selandia Baru, dan Swedia, masih sulit diwujudkan.
Dana APBN yang dialokasikan belum mampu menutupi kebutuhan yang ada. Bahkan, beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang dibutuhkan oleh 9 juta anak, baru bisa dipenuhi untuk 1 juta anak. Masalah biaya pendidikan ini mencerminkan sistem pendidikan kita yang carut-marut, yang pada akhirnya menjadi dilema yang sulit dipecahkan.
Pendidikan, yang seharusnya menjadi hak semua lapisan masyarakat, kini menjadi barang mahal yang tidak semua orang mampu menjangkaunya. Jika pada tahun 1960-an dan 1970-an sistem dan mutu pendidikan di Indonesia masih bisa dijadikan rujukan oleh banyak negara tetangga, kini keadaannya telah berbalik. Negara-negara tetangga telah melampaui Indonesia dalam hal sistem dan kondisi pendidikan.
Indonesia, meskipun luas dan kaya akan sumber daya, tampaknya masih kekurangan biaya untuk kesejahteraan sosial rakyatnya. Hal ini diperparah dengan korupsi yang telah mengakar, yang menghabiskan terlalu banyak pendapatan negara untuk kepentingan segelintir orang. Pada Hari Anti Korupsi Internasional di akhir tahun 2023, Indonesia berada di posisi ke-110 sebagai salah satu negara paling korup di dunia dengan skor 34.
Solusi alternatif yang berkelanjutan dan mampu menumbuhkan pemberdayaan finansial adalah jawaban yang kita butuhkan. Contohnya, Institut Pertanian Bogor (IPB) yang membuka mall sebagai sumber pemasukan tambahan, sehingga tidak membebani biaya UKT mahasiswa. Kampus juga bisa menciptakan tempat mikro usaha di mana mahasiswa dapat menjual produk mereka, memberikan pemasukan tambahan bagi kampus sekaligus memberdayakan mahasiswa secara finansial.
Baca juga:
- Praktisi Pendidikan di Padang Prihatin, Predator Seks Perkosa Anak 4 Tahun
- Cara Fintech Ini Sukses Mengendalikan 55% Transaksi di China
Dengan demikian, kita harus mencari solusi alternatif sambil terus menuntut tanggung jawab negara dalam pemenuhan perannya di sektor pendidikan. Kita harus percaya dan berharap pada negara, namun juga proaktif dalam mencari jalan keluar dari masalah pendidikan yang kita hadapi saat ini. [R11]
Ikuti Kabapedia.com di Google News