Timur Tengah, Kabapedia.com – Oman, sebuah negara yang berbatasan dengan Uni Emirat Arab (UEA), terletak di ujung timur Semenanjung Arab. Kedua negara ini dikenal memiliki ekonomi yang sangat bergantung pada sumber daya alam, terutama gas dan minyak. Namun, pendekatan mereka terhadap kemakmuran sangat berbeda.
Lantas seperti apa kekayaan sejati Oman dan negara-negara sultan yang ada di kawasan Timur Tengah? Mari kita selami lebih dalam seputar topik ini. Silahkan simak ulasan Kabapedia.com kali ini hingga akhir.
Pendekatan Oman Terhadap Kemakmuran
UEA menonjolkan kemakmuran di kota-kota seperti Dubai dan Abu Dhabi, yang terkenal dengan gedung pencakar langit megah seperti Burj Khalifa, kehidupan mewah warganya, mobil sport miliaran rupiah, dan hiasan mewah yang gemerlap. Sebaliknya, Oman, meski juga merupakan negara kaya yang bergantung pada sumber daya alam gas dan minyak, cenderung mempertahankan kesederhanaan dan memelihara nilai-nilai tradisional dalam menjalani kehidupan.
Oman mengambil jalan yang berbeda dari UEA dengan lebih mementingkan keseimbangan antara kemajuan ekonomi dan gaya hidup sederhana. Hal ini tercermin dalam pembangunan yang berkelanjutan dan penghargaan terhadap keharmonisan antara budaya tradisional dan modernitas.
Oman mengambil langkah tegas untuk menjaga keindahan alam dan lanskapnya. Keputusan ini menjadi nyata dengan tidak adanya gedung pencakar langit yang menjulang tinggi. Sultan Oman, mendiang Sultan Qaboos yang wafat pada tahun 2020, dikenal sebagai seorang yang mencintai lingkungannya. Saat memimpin, Qaboos memiliki tekad kuat untuk melindungi keindahan alam Oman dan menghindari kerusakan yang ditimbulkan oleh bangunan tinggi yang mencolok.
Menurut Sultan, jika bangunan tinggi dibangun, maka hanya dapat dinikmati oleh masyarakat kelas menengah ke atas, sehingga menimbulkan ketimpangan sosial dan ekonomi, terutama pada masyarakat kelas menengah ke bawah. Hasilnya, kebijakan resmi di Oman membatasi tinggi bangunan hingga maksimal lima lantai.
Oman ingin menampilkan bangunan Arab yang lebih sederhana, otentik, dan alami, yang berbeda dari banyak kota besar di negara-negara Timur Tengah seperti UEA, Kuwait, dan Arab Saudi yang memiliki banyak bangunan tinggi pada kota-kota besarnya. Sebaliknya, Oman menampilkan keindahan alamnya yang sederhana, mulai dari kota perbukitan seperti Jabal Akhdar hingga wilayah Dhofar.
Oman: Negara Kaya yang Tidak Suka Pamer
Oleh karena itu, menjadi wajar jika sebagian orang menyebut bahwa Oman adalah negara kaya yang sedang berpura-pura sebagai negara miskin. Padahal, tentu saja, Oman sangat mampu untuk membangun arsitektur modern sebagaimana banyak ditemui di Arab Saudi, UEA, maupun Kuwait.
Oman merupakan negara kaya yang mampu memproduksi minyak sebesar 900.000 barel per hari. Namun, pendapatan negara yang besar tersebut tidak digunakan oleh Oman untuk membangun gedung pencakar langit, melainkan untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya.
Sultan Qaboos merupakan sosok pemimpin yang memiliki visi kuat untuk mengembangkan dan memakmurkan negaranya. Dia memanfaatkan pendapatan negara dengan bijaksana untuk membangun infrastruktur, termasuk rumah sakit, sekolah, universitas, dan perumahan bagi warga Oman.
Salah satu bukti nyata terkait keseriusannya dalam meningkatkan kesejahteraan bagi rakyatnya adalah sangat jarang ditemukan tunawisma atau pengemis di negara Oman. Keluarga dengan ekonomi miskin sekalipun bahkan memiliki rumah sendiri dan alat transportasi berupa mobil. Orang-orang miskin di negara Oman juga memiliki akses terhadap sumber daya penghidupan seperti pertanian atau pekerjaan di sektor publik. Selain itu, pendidikan dan layanan kesehatan di negara ini tersedia secara gratis.
Kemakmuran Warga Oman
Kemakmuran warga Oman dapat dilihat dari data yang disajikan oleh Pusat Statistik dan Informasi Nasional. Menurut laporan mereka, pendapatan rata-rata rumah tangga di Oman mengalami peningkatan yang signifikan pada periode antara tahun 2001 hingga 2011. Pendapatan rata-rata rumah tangga naik sebesar 39% pada tahun 2001, pendapatan rata-rata rumah tangga sekitar 1.654 OMR atau sekitar Rp25 juta per bulannya, meningkat menjadi sekitar 3.414 OMR atau sekitar Rp46 juta per bulan pada tahun 2011.
Tidak hanya itu, data juga menunjukkan bahwa kemajuan ekonomi Oman telah mencapai berbagai lapisan masyarakat. Bahkan, 90% rumah tangga di Oman memiliki kendaraan roda empat atau mobil. Kemakmuran negara Oman juga tercermin dalam nilai mata uangnya yang sangat kuat. Jika 1 dolar Amerika dikonversi menjadi rupiah, maka nilainya sekitar Rp14.000. Sementara itu, jika 1 Rial Oman dikonversi menjadi rupiah, maka nilainya mencapai sekitar Rp39.000. Perbandingan ini menunjukkan bahwa mata uang Rial Oman lebih tinggi hampir tiga kali lipat dibandingkan mata uang Dolar Amerika.
Oman dan Isu Stok Minyak
Telah muncul sebuah isu, bahkan fakta, mengenai stok minyak di dalam perut bumi yang semakin menipis setiap waktu. Sehingga, negara-negara yang sangat bergantung pada minyak seperti Kuwait, Iran, UEA, Arab Saudi, dan bahkan Oman terus berusaha menjaga stabilitas perekonomiannya.
Beberapa negara Arab telah mencoba berbagai cara, termasuk mengadopsi unsur-unsur liberalisme, dalam upaya untuk meningkatkan perekonomiannya. Namun, Oman mengambil pendekatan yang berbeda, tidak sebagaimana negara Arab pada umumnya dalam mendukung kemakmuran ekonomi.
Sejak lama, Oman tidak hanya mengandalkan minyak sebagai satu-satunya sumber pendapatan utamanya. Di bawah kepemimpinan Sultan Qaboos, Oman telah mengembangkan ekonomi alternatif yang kuat, termasuk perdagangan ikan, produksi kurma, sektor pertanian, dan industri pariwisata. Ini berarti bahwa selama masa pemerintahan Sultan Qaboos, Oman telah aktif berusaha untuk mengurangi ketergantungannya pada sektor minyak dan menciptakan alternatif ekonomi yang kuat, sehingga tidak hanya bergantung pada komoditas gas dan minyak yang harganya terus naik turun, di samping juga secara perlahan stoknya kian menuju kepunahan.
Ironisnya, meski dikenal sebagai negara kaya, Qatar memiliki konsumsi air domestik per kapita yang mencapai angka luar biasa, yaitu 430 liter per hari. Angka ini jauh melebihi rata-rata global yang hanya sekitar 120 liter per hari.
Penelitian ilmiah telah mengungkapkan fenomena mengkhawatirkan di Qatar, yaitu kecenderungan sebagian penduduk untuk membuang-buang air yang sebenarnya tidak perlu dilakukan. Fenomena ini terutama berkaitan dengan penggunaan air untuk irigasi tanaman dan ladang, di mana mereka cenderung terus-menerus mengeluarkan air dibandingkan menerapkan metode penyiraman secara massal dan berkala.
Piala Dunia FIFA 2022 dan Kebutuhan Air Qatar
Ajang Piala Dunia FIFA Tahun 2022, di mana Qatar menjadi tuan rumah, telah mendorong negara ini untuk meningkatkan pasokan airnya sebesar 10%. Upaya peningkatan pasokan air ini bertujuan untuk mengakomodasi sebanyak 1,2 juta penggemar yang datang ke Qatar untuk mengikuti turnamen sepak bola tersebut. Selain itu, peningkatan air juga penting untuk memelihara ribuan hektar rumput yang ditanam pada lapangan di setiap stadion. Setidaknya, Qatar memerlukan sekitar 10.000 liter air setiap harinya untuk mengairi setiap lapangan stadion.
Meskipun kebutuhan akan air di Qatar sangat tinggi, negara ini menghadapi keterbatasan sumber daya air yang signifikan, dengan hanya 0,03 km³ air per kapita dan merupakan salah satu yang terendah di dunia. Karena itu, Qatar terpaksa mengimpor air dari negara-negara tetangga seperti Arab Saudi, Oman, Uni Emirat Arab, dan negara-negara Timur Tengah lainnya.
Pada tahun 2017, Qatar menghadapi krisis air yang signifikan sebagai akibat dari embargo yang diberlakukan oleh Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, serta Bahrain. Embargo ini mengakibatkan Qatar kehilangan akses pada sumber air impornya yang merupakan salah satu sumber utama pasokan air negara ini.
Kendati demikian, Qatar tetap berkomitmen untuk mengurangi ketergantungannya pada impor air. Karena itu, negara ini mengembangkan tiga sumber utama yang menjadi tulang punggung pasokan air, yaitu desalinasi, air tanah, dan pengolahan limbah air.
Proses desalinasi, yang berarti menghilangkan garam dari air laut untuk menghasilkan air bersih, merupakan metode utama yang digunakan oleh Qatar. Negara ini memiliki lebih dari 20 pabrik desalinasi yang berperan penting dalam memenuhi sekitar 70% dari total kebutuhan airnya.
Kemudian, air tanah, meskipun jumlahnya terbatas, juga memiliki peran penting dalam memenuhi kebutuhan air negara ini. Qatar telah mengambil langkah-langkah strategis untuk mengembangkan sumber daya air tanah, termasuk pembangunan sumur bor dan upaya melindungi akuifer.
Selain itu, Qatar juga mengintegrasikan penggunaan limbah cair yang telah diolah. Proses ini berarti memurnikan limbah cair bekas agar dapat digunakan untuk keperluan non-konsumsi seperti irigasi pertanian dan kebutuhan industri.
Abu Dhabi: Kemakmuran dan Arsitektur Modern
Abu Dhabi, sebuah kota yang terdiri dari daratan serta lebih dari 200 pulau dengan luas total sekitar 67.340 km², menjadikannya sebagai emirat terbesar di Uni Emirat Arab dalam hal luas daratan.
Abu Dhabi memiliki banyak bangunan dengan arsitektur modern dan super canggih. Salah satunya adalah Capital Gate, sebuah gedung pencakar langit setinggi 160 meter dengan kemiringan 18 derajat ke arah barat. Capital Gate lebih miring dan 14 derajat lebih tinggi dari Menara Miring Pisa di Italia. Itulah sebabnya Capital Gate dinobatkan sebagai bangunan miring yang tertinggi di dunia.
Qatar dan Abu Dhabi, dua negara di Timur Tengah, menunjukkan dua wajah kemakmuran yang berbeda. Qatar, dengan konsumsi air domestik tertinggi di dunia, menghadapi tantangan dalam memenuhi kebutuhan airnya. Sementara itu, Abu Dhabi, dengan arsitektur modern dan kemakmuran yang tinggi, menjadi simbol kemajuan di Timur Tengah. Kedua negara ini menunjukkan bagaimana kemakmuran dapat membawa tantangan dan peluang yang berbeda.
Abu Dhabi, selain dikenal sebagai kota modern dan kaya raya, juga memiliki Masjid Agung Sheikh Zayed, masjid terbesar ketiga di dunia setelah masjid di Mekah dan Madinah. Masjid ini dibangun atas perintah presiden pertama Uni Emirat Arab, Sheikh Zayed bin Sultan Al Nahyan, sebagai tanda terima kasih kepada Tuhan dan sebagai warisan bagi generasi masa depan.
Pembangunan masjid ini dimulai pada tahun 1996 dan selesai pada tahun 2007 dengan biaya sekitar 2 miliar dolar Amerika. Desain masjid ini merupakan desain modern yang memadukan antara gaya arsitektur Timur Tengah, Afrika Utara, dan Spanyol. Fasad utamanya terdiri dari 82 kubah putih yang dipasang di atas empat tiang raksasa. Di bagian depan masjid terdapat kolam air dengan cermin air yang menampilkan gambaran masjid yang sangat indah. Selain itu, masjid ini juga memiliki karpet terbesar di dunia serta tujuh lampu gantung yang luar biasa.
Abu Dhabi juga merancang kota Masdar sebagai kota ramah lingkungan berkelanjutan yang akan menjadi kota tanpa karbon, tanpa limbah, serta bebas mobil pertama di dunia. Kota ini adalah rumah bagi sejumlah blok apartemen, lembaga riset terkait energi terbarukan, kafe, restoran, pusat kebugaran, fasilitas taman, dan lain sebagainya. Segala sesuatu di kota ini dibangun berdasarkan tema berkelanjutan. Bangunan tempat tinggal memiliki eksterior terakota serta menara angin setinggi 45 meter yang mendinginkan jalanan di bawahnya antara 15 hingga 20 derajat Celcius.
Riyadh: Kota Uang Timur Tengah
Riyadh, ibu kota kerajaan Arab Saudi dan juga kota terbesar di kawasan Jazirah Arab, dijuluki sebagai “Kota Uang Timur Tengah”. Julukan ini diberikan karena Riyadh adalah pusat keuangan paling penting di kawasan Timur Tengah. Kota ini adalah pusat keuangan yang menampung beragam bank besar, lembaga investasi, dan perusahaan asuransi yang memainkan peran kunci dalam aktivitas keuangan regional.
Riyadh menjadi tuan rumah kantor pusat banyak bank serta perusahaan besar seperti Saudi National Bank, Arji Bank, Sabic, Almarai, dan lain sebagainya. Riyadh juga menjadi pusat bisnis serta perdagangan yang vital, di mana banyak perusahaan multinasional beroperasi di kota ini yang kemudian menghasilkan investasi yang signifikan dalam mendukung aktivitas ekonomi yang kuat.
Kota ini didukung dengan infrastruktur modern dan berkembang dengan pusat perbelanjaan, hotel, pusat konvensi, dan fasilitas bisnis lainnya yang mendukung pertumbuhan ekonomi serta perdagangan. Di samping menjadi pusat keuangan serta bisnis, Riyadh juga merupakan pusat politik di Arab Saudi. Sebagai ibu kota, Riyadh adalah tempat dari beberapa kementerian utama serta lembaga-lembaga pemerintahan yang mengatur kebijakan-kebijakan penting di negara ini.
Abu Dhabi dan Riyadh, dua kota megah di Timur Tengah, menunjukkan dua wajah kemakmuran yang berbeda. Abu Dhabi, dengan Masjid Agung Sheikh Zayed dan kota ramah lingkungan Masdar, menunjukkan komitmen terhadap warisan dan keberlanjutan. Sementara itu, Riyadh, dengan statusnya sebagai “Kota Uang Timur Tengah”, menunjukkan kekuatan ekonomi dan keuangan yang signifikan. Kedua kota ini menunjukkan bagaimana kemakmuran dapat membawa tantangan dan peluang yang berbeda.
Riyadh dan Turki: Kekayaan, Budaya, dan Tradisi di Timur Tengah
Meski dikenal sebagai kota yang kaya dan mewah, tidak semua penduduk Riyadh hidup dalam kemewahan. Ada juga penduduk yang tinggal dalam kondisi ekonomi yang cukup memprihatinkan. Kekayaan dan gaya hidup hedonis hanyalah sebagian kecil dari gambaran kehidupan di kota Riyadh yang memiliki keragaman sosial dan ekonomi yang luas.
Riyadh memiliki sejarah yang cukup panjang sebelum pada akhirnya dikenal sebagai kota modern seperti saat ini. Pada masa pra-Islam, kota Riyadh modern disebut dengan Hajr, yang didirikan oleh suku Banu Hanifah pada awal abad ke-1 Masehi. Hajr merupakan ibu kota provinsi Yamama yang gubernurnya bertanggung jawab atas sebagian besar Arabia tengah dan timur.
Pada tahun 1737, Deham Ibnu Dawas, seorang pengungsi dari negara tetangga Manfuha, mengambil alih kota Riyadh. Ibnu Dawas membangun satu tembok untuk mengitari berbagai kota oasis di wilayah tersebut. Nama Riyadh, yang berarti “Sebuah Taman”, diperkirakan merujuk pada kota-kota oasis sebelumnya yang mendahului tembok yang dibangun oleh Ibnu Dawas.
Turki: Negara dengan Budaya dan Tradisi yang Kaya
Turki adalah negara yang kaya akan budaya dan tradisi. Negara ini terbentuk oleh perpaduan budaya Asia dan Eropa, disebabkan lokasinya yang strategis di persilangan dua benua, yaitu Asia Barat dan Eropa Timur. Budaya Turki membentuk campuran budaya timur dan barat yang sangat unik, sehingga sering diperkenalkan sebagai jembatan antara dua peradaban.
Turki juga memiliki koneksi budaya dengan Yunani kuno, Persia, Romawi, Bizantium, dan kerajaan Ottoman yang telah lama berkuasa di negara ini. Kendati demikian, masyarakat Turki masih memiliki banyak adat istiadat dan tradisi unik yang berbeda dengan kebanyakan masyarakat di dunia, termasuk dari dua belahan benua.
Salah satu kebiasaan unik masyarakat Turki adalah membunyikan klakson saat kondisi jalan sedang macet, terkhusus di kota-kota besar. Masyarakat Turki biasa membunyikan klakson secara terus-menerus tanpa henti, sehingga membuat bising jalanan. Namun, bagi masyarakat Turki, hal tersebut adalah sesuatu yang biasa.
Jika terdengar suara klakson panjang dan terus-menerus, bisa jadi itu bukan disebabkan kemacetan, melainkan ada seseorang yang akan menikah atau menyelesaikan tugas militer. Iringan mobil pengantin atau perayaan purna tugas militer sepanjang jalan akan membunyikan klakson panjang dan ini menjadi tradisi yang jamak dan sudah diterima.
Prosesi pernikahan di Turki juga diwarnai dengan aksi humor yang dipenuhi riang gembira dan gelak tawa. Bahkan sejak lamaran, adat lamaran di Turki, pengantin wanita akan menyajikan minuman kepada para tamu, yaitu keluarga mempelai pria yang datang meminangnya. Calon pengantin wanita secara khusus menambahkan garam ke dalam cangkir kopi pengantin pria sebagai pengganti gula, dan cangkir tersebut biasanya dibungkus dengan pita merah. [isr]
Ikuti Kabapedia.com di Google News