Dengan petrodollar, Amerika Serikat mampu mencetak uang tanpa menghadapi tekanan inflasi domestik yang signifikan, sementara negara lain dipaksa untuk menyesuaikan kebijakan moneter mereka dengan dolar. Namun, ketergantungan dunia pada dolar juga memberi Amerika Serikat alat untuk memaksakan kehendaknya melalui sanksi ekonomi, seperti yang dilakukan terhadap Iran dan Rusia.
Pada Juni 2024, Arab Saudi secara resmi mengakhiri perjanjian petrodollar. Langkah ini mengizinkan negara-negara lain membeli minyak Saudi menggunakan mata uang mereka sendiri. Keputusan ini menjadi pukulan telak bagi dominasi dolar, sekaligus membuka peluang bagi mata uang lain seperti euro dan yuan untuk menjadi alternatif dalam perdagangan internasional. Cina, misalnya, telah memperkuat posisi yuan dengan memanfaatkan kemitraan energi strategis di Timur Tengah, menawarkan alternatif terhadap dominasi dolar.
Dengan berakhirnya era petrodollar, pengaruh ekonomi Amerika Serikat mulai terancam. Negara-negara yang selama ini terikat pada dolar kini memiliki lebih banyak opsi untuk berdagang dalam mata uang lain, yang pada gilirannya melemahkan kemampuan Amerika Serikat menggunakan dolar sebagai alat geopolitik. Pengurangan ketergantungan ini juga mengancam efektivitas sanksi ekonomi berbasis dolar, yang selama ini menjadi salah satu senjata utama Amerika Serikat dalam menekan negara-negara yang berseberangan dengan kebijakannya.
Baca juga:
- Kehancuran Otomotif Jepang, China Kian Brutal!!
- Benarkah GenZ Lemah? atau Memang Situasi Ekonomi Saat Ini Berat
Perubahan ini bukan hanya soal mata uang, melainkan pergeseran kekuatan dalam sistem geopolitik global. Dunia memasuki fase baru di mana dominasi dolar tidak lagi menjadi keniscayaan, membuka jalan bagi munculnya tatanan ekonomi yang lebih multipolar. Akankah Amerika Serikat mampu beradaptasi, atau justru terperosok lebih dalam? Pertanyaan ini masih menunggu jawabannya di panggung ekonomi global. [isr]
Ikuti Google News dan KabaPadang dari Kabapedia Network