TETAP DALAM SPIRIT DAMAI PASCA RAMADAN

oleh -61 Dilihat
Ilhamni, akademisi prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, UIN Imam Bonjol Padang. [Foto: Dok. Ist]

Oleh: Ilhamni

Kedamaian adalah sesuatu keadaan yang diinginkan oleh manusia baik itu damai dalam diri, damai dalam masyarakat, damai dengan lingkungan dan damai dalam bernegara. Damai dalam Kamus Bahasa Indonesia merupakan keadaan tenang, tentram, rukun, keadaan tidak bermusuhan, tidak ada kerusuhan atau tidak ada perang.

Karena manusia ingin damai, ada negara, karena manusia ingin damai ada pemerintahan dengan lembaga-lembaganya seperti lembaga hukum, angkatan bersenjata, lembaga pendidikan, dan karena manusia ingin damai, Tuhan menghadirkan agama yang tujuannya mengatur hidup manusia. Islam adalah salah satu agama yang ingin mewujudkan kedamaian dalam nilai-nilai ajarannya. Salah satu makna dari kata Islam itu sendiri adalah damai. Di antara kewajiban yang diperintahkan bagi penganutnya dalam upaya membangun kedamaian adalah berpuasa selama bulan Ramadan.

Baca juga:

Perintah berpuasa selama Ramadan ini dapat dilihat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 183-186 sebagai berikut: Terjemah :Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Siapa di antara kamu dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan, maka (wajiblah baginya mengganti puasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa), maka membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan yang diturunkan padanya Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang bathil).

Karena itu siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa, dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

Dalam sebuah hadis Rasulullah juga disebutkan tentang landasan Islam salah satunya adalah berpuasa. Hadis ini terdapat dalam kitab Shahih Bukhari 7: ‘Dari Ibnu ‘Umar radliyallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Islam dibangun diatas lima (landasan): persaksian tidak ada ilah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadan”.

Dalam ayat dan hadis di atas menegaskan bahwa puasa di bulan Ramadhan menjadi salah satu rukun Islam sangat penting. Keimanan dan keislaman seorang dipertanyakan apabila tidak melakukan ibadah puasa di bulan Ramadan.
Kata puasa itu sendiri berasal dari bahasa Arab “shiyam” yang berarti menahan diri dari sesuatu atau meninggalkan sesuatu misalnya menahan diri dari berbicara, makan, atau berjalan. Seekor keledai dinamakan juga melakukan puasa ketika ia tidak melakukan perjalanan. Nabi Zakaria dan Maryam berpuasa dengan menahan diri dari berbicara ketika masyarakatnya menghadapkan tuduhan-tuduhan negatif terhadap mereka.

Imam Baidhawi seorang ahli tafsir mengatakan bahwa puasa adalah menahan diri dari kecenderungan hawa nafsu. Secara terminologi menurut Wahbah Zuhaili juga salah seorang ahli tafsir mendefinisikan bahwa puasa adalah menahan diri dari makan dan minum serta berhubungan suami istri mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari karena Allah.

Dengan demikian ibadah puasa pada dasarnya identik dengan pengendalian diri dari hawa nafsu yang bisa hadir setiap saat. Nafsu makan yang harus dikendalikan selama melakukan puasa di tengah godaan lapar dan haus yang mendera, enaknya makanan dan minuman yang memancing selera, apalagi ditambah dengan aktivitas yang banyak dan cuaca panas atau di daerah tertentu dengan durasi siang lebih lama.

Hal ini menjadi tantangan dan rintangan berat bagi orang yang berpuasa. Orang yang sedang berpuasa menahan diri dari makanan yang dihalalkan pada waktu tertentu. Bagi pasangan suami atau istri yang berpuasa harus menahan diri untuk berhubungan seksual di siang hari, meskipun pada dasarnya halal dilakukan. Setiap orang yang mengaku beriman, dituntut untuk berdamai dengan hawa nafsu ingin makan, dan berdamai dengan keinginan nafsu seksual walaupun dengan pasangan yang dihalalkan.

Lebih dari itu, dalam berpuasa tidak hanya menahan diri dari makan dan minum serta hubungan seksual saja, tapi juga dari hal-hal yang bisa merusak nilai puasa. Hadis dari Abu Hurairah ra: Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Puasa itu benteng, maka (bagi orang yang berpuasa) janganlah berbuat rafst/kotor dan jangan pula berbuat jahil/bodoh.

Apabila ada orang yang mengajaknya berkelahi atau menghinanya maka katakanlah: ‘aku sedang berpuasa’ beliau mengulang ucapannya dua kali. Dan demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang sedang berpuasa lebih harum di sisi Allah Ta’ala dari pada harumnya minyak misik, karena dia meninggalkan makanannya, minuman dan nafsu syahwatnya karena Aku. Puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya dan setiap satu kebaikan (yang dilakukan di bulan ini) dibalas dengan sepuluh kebaikan yang serupa”. HR Bukhari 1761.

Puasa dikatakan sebagai benteng seseorang yang menghalangi seseorang melakukan hal-hal yang dilarang sebagai berikut: Pertama melakukan apa yang dinamakan rafats. Di dalam penjelasan beberapa ulama tafsir kata rafats dimaknai sebagai tindakan yang mengarah kepada hubungan seksual baik dari segi berfikir, berkata apalagi berbuat. Seorang yang berpuasa dilatih untuk mengendalikan diri dari hal apapun yang mengantarkan kepada yang mendekatkan diri pada hubungan seksual.

Larangan tentunya lebih-lebih lagi bagi yang bukan pasangan suami istri. Dalam masyarakat juga dikenal istilah pornografi. Pornografi yang sekarang bisa muncul dalam bentuk pesan, gambar, video yang dengan gampang diakses via teknologi bisa memunculkan akibat negatif baik secara otak, mental, maupun fisik bahkan tatanan sosial. Pada tingkat lebih lanjut bisa berakibat pada kejahatan seksual. Banyak penelitian yang menjelaskan akibat dari pornografi ini yang tidak bisa kita jelasan secara panjang lebar dalam momen ini.

Kedua perbuatan jahil/bodoh yaitu perbuatan yang tidak dilandaskan pada pengetahuan atau perbuatan yang dilandaskan pada hawa nafsu, sehingga bisa berakibat negatif dan merugikan baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Masyarakat Arab sebelum datangnya al-Qur’an dinamakan dengan masyarakat jahiliah, karena di tengah masyarakat ketika itu tersebar perbuatan-perbuatan merusak seperti judi, minuman memabukkan, pembunuhan terhadap anak-anak perempuan, suku-suku atau kelompok yang saling berkonflik dan berperang dan penindasan dari yang kuat terhadap yang lemah serta mengambil harta orang lain dengan cara merugikan orang lain. Jadi kebodohan bukan hanya ketiadaan atau kurangnya ilmu pengetahuan, tapi juga keinginan-keinginan hawa nafsu yang tidak terkendali sehingga menghilangkan akal sehat dengan mengabaikan aturan-aturan yang berlaku, baik agama, hukum atau norma masyarakat.

Ketiga tidak terpancing oleh provokasi dan menghindari konflik yang tidak penting. Dalam lafal hadis di atas “Apabila ada orang yang mengajaknya berkelahi atau menghinanya maka katakanlah: ‘aku sedang berpuasa’ beliau mengulang ucapannya dua kali. Hal ini mengindikasi pentingnya pesan ini dipahami dan diamalkan oleh orang yang berpuasa. Orang yang berpuasa harus menghindarkan diri dari kata-kata, pernyataan-pernyataan apalagi tindakan yang bisa memancing konflik dan permusuhan bahkan perkelahian. Menghindari kata-kata atau pernyataan-pernyataan yang memicu keresahan di tengah masyarakat. Hadis itu ditutup dengan memberi motivasi bagi umatnya untuk melakukan kebaikan dengan memberi reward berlipat ganda bagi orang-orang yang melakukan kebaikan.

Perintah puasa bulan Ramadan ditujukan bagi setiap muslim yang mengaku beriman, dimana keimanan itu sendiri adalah persiapan diri yang paling besar dan paling mudah untuk mengikat diri seseorang dalam berprilaku untuk meraih kebahagiaan duniawi maupun ukhrawi. Apakah orang yang hatinya dipenuhi kecurangan dan tipu daya mampu merasakan pengawasan?. Apakah mudah bagi seseorang untuk merasakan bahwa Allah melihatnya ketika ia makan atau minum yang halal di saat berpuasa. Apalagi mengambil harta manusia dengan cara yang tidak dibenarkan Apakah seseorang tidak merasakan pengawasan Allah dalam berbagai tindakannya? Orang yang bisa mengendalikan hawa nafsunya akan merasakan pengawasan yang melekat dalam dirinya setiap saat apakah dilihat oleh orang lain atau tidak.

Baca juga:

Ketaqwaan sebagai output dan tujuan akhir dari latihan pengendalian diri selama berpuasa bulan Ramadhan sebulan penuh, idealnya akan melahirkan individ-individu yang bisa mengendalikan diri dari fikiran-fikiran, perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan yang menzalimi dan merugikan diri sendiri juga orang banyak serta lingkungannya, akan menumbuhkan individu-individu yang memiliki rasa belas kasih dan sikap peduli kepada orang lain, akan mewujudkan masyarakat bersih dan damai.

Suasana damai yang dibangun selama puasa bulan Ramadhan seyogyanya berlanjut walaupun Ramadhan berakhir. Religiusitas dan spirit damai ini tak akan bemakna jika terhenti dengan berakhirnya Ramadhan. Sementara spirit damai sangat dibutuhkan dalam interaksi sosial dan membangun bangsa, apalagi menghadapi kompleksitas persoalan bangsa saat ini. Wallahu a’lam bi al-shawab. [**/Kpd]

Tentang Penulis: (Penulis adalah akademisi prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, UIN Imam Bonjol – Email: ilhamni.mugahar@gmail.com)

 

Ikuti Kabapedia Network di  Google News dan KabaPadang