Pasca Wisuda, Mengapa?

oleh -426 Dilihat
Faisal Zaini Dahlan. [Foto: Dok. Faisal Zaini Dahlan]

Oleh: Dr. Faisal Zaini Dahlan, M.Ag.

Di penghujung tahun akademik, umumnya kampus menggelar wisuda. Ritual dunia perguruan tinggi itu menjadi momentum sakral yang dinanti banyak pihak. Tidak saja bagi mahasiswa yang telah merampungkan masa-masa genting penggodokan-nya di masing-masing Kawah Candradimuka, tetapi juga bagi orang tua dan keluarga.

Baca juga:

Kelas sosial mereka bisa saja serta merta naik setingkat lebih tinggi, begitu terdengar anaknya sudah wisuda. Ironisnya di balik suka cita itu, jumlah sarjana semakin tahun terus melonjak. Artinya, dari prospek dunia kerja, tingkat persaingan otomatis semakin tinggi. Sudah pasti pula angka pengangguran pun makin membengkak. Lalu, apa yang akan dilakukan pasca wisuda?

Ironi Sarjana Pengangguran

“Selamat Menganggur”, begitu salah satu tulisan di karangan bunga sebuah acara wisuda. “Selamat Wisuda atau Selamat Menganggur?” tanya Ferry dalam blog-nya yang diunggah hampir sepuluh tahun lalu. Selanjutnya ia menulis: “Rabu, 5 Oktober 2016, gw resmi menjadi pengangguran, eh wisudawan…” Ferry lalu mengisahkan jatuh bangun perjuangannya mencari pekerjaan pasca wisuda, setelah beberapa tahun proses perkuliahan. “…Akhirnya gw akan terjun ke dalam dunia kerja yang sejujurnya belum siap buat gw lalui…” Begitu pengakuannya.

Ferry tidak sendirian, karenanya itu tragedi yang menimpanya tidak bisa disebut kasuistis. Menaker RI Ida Fauziyah, tahun lalu menyebut angka 12% pengangguran di tanah air adalah sarjana dan diploma (https://ugm.ac.id/22/02/23). Mengacu pada data BPS, total pengangguran di periode itu sebanyak 7,99 juta orang. Artinya, ada hampir sejuta Ferry-Ferry lain yang sama nasibnya. Bisa jadi, angka ini ibarat puncak gunung es, karena terdapat pula angka 9,34 juta orang per Agustus 2023 yang dikategorikan sebagai “setengah pengangguran” (BPS, 2023).

Mengapa jumlah sarjana pengangguran tinggi? Wahyono (2023) menyebut sejumlah biang kerok problem sosial yang krusial ini. Pertama, gap antara sistem pendidikan dengan dunia kerja. Ia mengutip hasil riset McKinsey (2008), bahwa dua lembaga PBB yakni Unesco dan ILO menyebut hasil lulusan perguruan tinggi tidak sesuai dengan kebutuhan pengguna kerja. Baik kurikulum, metode belajar, kualitas dosen, maupun fasilitas, belum mampu mencetak sarjana yang memiliki skill dan kompetensi yang dibutuhkan pasar. Kedua, jumlah pencari kerja lebih banyak dari lowongan kerja yang tersedia. Kesempatan kerja produktif menjadi terbatas akibat ekonomi yang tidak stabil dan fluktuasi global, sementara jumlah lulusan perguruan tinggi terus meningkat. Ketiga, kurang aktif mencari informasi lowongan kerja yang seharusnya menjadi lebih mudah di era IT ini. Keempat, terlalu selektif memilih pekerjaan, tergiur bekerja di perusahaan bonafit bergaji tinggi. Kelima, dokumen curriculum vitae yang tidak maksimal. Keenam, orientasi yang keliru dalam perkuliahan sehingga tidak memiliki visi misi tentang karir, serta ketujuh, tidak adanya gambaran yang jelas tentang masa depan setelah lulus.

Ironi sarjana menganggur diprediksi akan jauh lebih tragis di era AI (Artificial Intelligence) yang sudah di depan mata. Mirip-mirip Jarvis, si asisten virtual milik Tony Stark di film Iron Man, sistem komputer kecerdasan buatan yang dipercaya bisa bekerja lebih efektif dan efisien, sudah muncul di dunia kerja dengan harapan produktivitas yang jauh meningkat. Perangkat yang bisa meniru aktivitas manusia normal seperti learning, reasoning, decision making, bahkan juga self-correction ini dirancang mampu bertindak dan berpikir rasional layaknya manusia (https://bakrie.ac.id), sehingga menjadi pesaing buat pekerja manusia.

Wahyundaru (2023) dalam artikelnya “Dampak Artificial Intelligence Bagi Pekerjaan Manusia” menyebut, dalam beberapa tahun terakhir banyak perusahaan besar yang berencana mengurangi pegawai karena mengadopsi AI. Di samping tentu saja mendatangkan manfaat luar biasa, beberapa kekhawatiran muncul terutama dampaknya terhadap pekerjaan manusia. Selain dapat menggantikan pekerja manusia yang berakibat pada peningkatan angka pengangguran, AI juga memunculkan ketergantungan yang berlebihan pada teknologi, sehingga beresiko jika terjadi gangguan sistem. Adopsi AI juga menciptakan kesenjangan keterampilan, khususnya mereka yang tidak memiliki keterampilan yang relevan dengan AI akan sulit bersaing di pasar kerja.

Tanggungjawab Bersama

Jauh-jauh hari, sejumlah pejabat memberi sinyal yang cukup menciutkan nyali para sarjana dengan kompetensi pas-pasan dan tidak punya skill. Beberapa tahun lalu, Mendikbud Ristek, Nadiem Makarim mengingatkan perubahan besar sedang terjadi, termasuk di dunia pendidikan. Salah satunya, saat ini kelulusan tidak mencerminkan kesiapan berkarya dan bekerja (sindonews.com/19/03/21). Begitu pun Menaker Ida Fauziyah menegaskan, ijazah bukan satu-satunya yang diperlukan untuk mendapat pekerjaan, tetapi skill menjadi acuan penting sebagai kompetensi. Karena itu, ia meminta generasi millennial terus meningkatkan penguasaan teknologi, kompetensi kerja, dan kolaborasi positif (iNews.id/15/11/21).

Pendek kata, relevansi ijazah yang diperoleh setelah wisuda tidak lagi sebagaimana masa lalu yang cukup signifikan sebagai pertimbangan. Lantaran itu, para sarjana dituntut kesiapan dan kemampuan yang lebih dari hanya sekedar selembar ijazah meski dengan angka-angka yang bagus. Realitas persaingan yang ketat ini tentu menjadi tantangan bagi semua pihak, tidak hanya para sarjana. Menurut Ermawati (2024), untuk mengatasi sarjana menganggur diperlukan upaya-upaya berbagai pihak; pemerintah, perguruan tinggi, perusahaan, dan tentu saja sarjana itu sendiri. Kualitas pendidikan dan relevansinya dengan kebutuhan dunia kerja perlu dibenahi, sejak dari revisi kurikulum, pengembangan metode pembelajaran, kualitas dosen dan fasilitas, serta kerja sama dengan industri. Pemerintah juga mesti meningkatkan kesempatan dan keragaman kerja.

Baca juga:

Sementara sarjana, mutlak meningkatkan kreativitas dan profesionalisme, membekali diri dengan berbagai skill terutama yang relevan dengan kekinian. Tak kalah penting adalah sektor informal yang justru jauh lebih luas ketimbang formal. Bahrum Jamil dalam artikelnya “Peran Sektor Formal dan Sektor Informal dalam Penanggulangan Masalah Pengangguran” menyebut sektor ini hanya bisa diisi oleh angkatan kerja yang benar-benar trampil dan mempunyai keahlian sendiri. Latar akademis terkadang terabaikan.

Cukup banyak bukti empiris mereka yang sukses justru tidak memiliki relevansi dengan ijazahnya. Jangan lupa, David Karp pemilik Tumblr, Richard Branson pemilik CEO Virgin, Mike Hudack Manager Facebook, dan banyak lagi orang sukses, malah justru tidak punya ijazah! [***]

 

Tentang Penulis: [Dosen Studi Agama- Universitas Islam Negeri Imam Bonjol (UIN IB) Padang]

 

Ikuti Kabapedia.com di Google News