Sebuah Renungan Berbagi Daging Kurban

oleh -617 Dilihat
Ilhamni. Akademisi UIN Imam Bonjol. [Foto: Dok. Ist]

Oleh: Ilhamni

Idul Adha setiap tahunnya jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah. Di negara kita juga dikenal dengan sebutan Hari Raya Haji, ada juga menamakannya Idul Qurban. Di saat yang sama, kaum muslimin di seluruh dunia sedang menunaikan haji yang utama, yaitu wukuf di Arafah.

Semuanya mengenakan pakaian serba putih dan tidak berjahit (pakaian ihram), menggambarkan persamaan aqidah maupun pandangan hidup, dengan tatanan nilai yaitu: persamaan dalam berbagai segi kehidupan. Mempunyai derajat yang sama dengan tujuan dan mempunyai tujuan mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Kuasa.

Hari ini Allah memberi kesempatan kepada seluruh umat Islam untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Tidak semua umat muslim mampu mengerjakan ibadah haji, mendapat kesempatan untuk berkurban sebagai simbol ketakwaan dan cinta kepada Sang Pencipta.

Alquran dan sejarah Islam mencatat bagaimana kisah keteladanan Nabi Ibrahim, istrinya Hajar dan anaknya Nabi Ismail, saat mereka diperintahkan oleh Allah SWT untuk mengorbankan anak semata wayangnya Ismail.

Pada saat Nabi Ibrahim akan mengayunkan pisau di leher putra kesayangannya, Ismail mengira ayahnya ragu, sambil melepaskan tali pengikat tangannya, agar tidak menimbulkan kesan jika Ismail mengikuti perintah untuk dibaringkan karena dipaksa Nabi Ibrahim, Ismail berkata kepada sang ayah untuk mengayunkan pisau dengan memalingkan wajah ke arah lain supaya tidak melihat wajahnya.

Di puncak keikhlasan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail serta tawakal inilah Allah menggantinya dengan sembelihan seekor domba sebagai korban, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat As-Shaffat ayat 107-110: “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”

“Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian yang baik) dikalangan orang-orang yang datang kemudian.”

“Yaitu kesejahteraan semoga dilimpahkan kepada Nabi Ibrahim.”

“Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Atas besar dan tulusnya pengorbanan Nabi Ibrahim AS, membuat Ibrahim menjadi seorang Nabi dan Rasul yang besar, serta mempunyai arti yang juga sangat besar. Peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim bersama Nabi Ismail, maka bagi kita umat Islam harus dimaknai sebagai pesan simbolik agama, yang mengandung besarnya pembelajaran dalam tiga hal, yaitu: ketakwaan, hubungan baik antar manusia, dan peningkatan kualitas diri.

Hari ini, saya mencoba mengenang sisi lain dari momen hari raya Idul Adha 1444 H atau hari Raya Kurban tahun 2023 ini. Setelah hari raya Idul Fitri saya berbincang dengan seseorang yang menurut saya boleh dikatakan termasuk sebagai seorang yang berhak menerima zakat jika dilihat dari keadaan ekonominya yang sulit. Bahkan, beberapa kali ketika tidak ada pekerjaan, ia dan keluarganya seharian tidak mempunyai uang sedikitpun untuk membeli beras apalagi lauk pauknya.

Pembicaraan antara kami saya anggap lebih kepada curahan hati mengenai kesulitan yang dihadapi, semisal urusan sekolah anak ketika harus bayar uang komite, yang bagi sebagian wali murid tidak terasa menjadi masalah. Tapi baginya yang mendapatkan penghasilan hasil berjualan kecil-kecilan di sebuah Sekolah Dasar hanya cukup untuk beli beras dan sedikit lauk di hari itu dan dimakan di hari itu juga.

Di tambah lagi berjualan di sekolah juga banyak liburnya, seperti libur minggu, tanggal merah, bulan Ramadan, demikian pula ketika sedang ada evaluasi belajar maka jumlah yang anak-anak yang jajan juga tidak akan ramai. Ditambah pula dengan libur panjang kenaikan kelas, sehingga memaksanya untuk mencari pekerjaan serabutan lainya untuk menopang kebutuhannya.

Di tengah perbincangan, dia mengatakan akan memberikan daging jatah kurban yang diterimanya nanti kepada saya. Saya bertanya: Kenapa? Apakah kamu tidak suka daging? Jawabnya “Kami tidak biasa makan daging selama hidup, oleh sebab itu kami tidak biasa mengolah dan makan daging. Saya katakan kepadanya, “tak usah untuk saya, kamu olah saja sendiri untuk keluargamu. Saya juga punya jatah sendiri.”

Singkat cerita, saya tidak terlalu menanggapi tawaran tersebut. Hingga pada saat hari Raya Idul Adha tahun 1443 H lalu, Dia datang mengantarkan daging kurban tersebut untuk saya. Daging kurban dikemas dalam kantong plastik dan diletakkan dalam ember plastik Dia datang untuk menunaikan janjinya. Saat mempersilahkan dia masuk, saya berkata “kamu masak saja untuk anak- anakmu. Olahlah menjadi rendang atau sup atau dendeng dan simpan di lemari es.”

Namun, lagi-lagi saya terpana dengan jawabannya, “saya sudah ambil sebagian, tapi saya tidak bisa ambil lebih karena saya tak punya uang untuk beli cabe, bawang, kelapa, dan juga gas untuk memasak.”

Saya kaget karena saya tak pernah berpikir tentang hal ini sebelumnya. Saya juga melihat di dalam embernya masih ada dua kantong daging lagi yang akan diberikannya kepada orang lain yang menurut pengakuannya orang tersebut sering membantunya dan menurut dugaan saya tentulah cukup mampu secara finansial.

Terlintas dalam pikiran saya untuk menggantinya dengan uang atau saya belikan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk mengolah daging ataukah saya yang memasak kemudian saya berikan kepadanya?

Begitu dia berlalu dari rumah, pikiran masih berkecamuk, ternyata tidak semua orang yang mendapat daging kurban juga mampu mengolahnya karena membutuhkan bahan-bahan yang saat ini harganya semakin mahal. Masih ada orang lain bernasib sama seperti dia. Ternyata mereka belum bisa menikmati daging kurban yang sudah diperuntukkan buat mereka secara maksimal karena keterbatasan ekonomi.

Baca juga: Belajar dari Gamal: Inspirasi Wirausaha Sosial Generasi Muda Dunia

Namun di antara hikmah yang dapat diambil dari Idul Adha adalah bahwa manusia pada hakikatnya dinilai dari keikhlasan dan ketaqwaan kepada Allah, dengan cara berkurban untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan memupuk semangat kebersamaan dan berbagi kepada orang lain. [***]

Tentang Penulis: (Akademisi UIN Imam Bonjol)

 

 

Simak berita Kabapedia.com di Google News