Oleh: Faisal Zaini Dahlan
Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran bagi umat Islam tentu saja bernilai ritual teologis sebagai puncak rangkaian ibadah puasa Ramadhan. Dalam konteks normativitas ini, tidak salah jika ada penegasan bahwa secara substansial Idul Fitri sejatinya milik mereka yang lulus dari ujian Ramadhan. Namun, secara historisitas Idul Fitri telah mengalami proses sosiokultural yang mengakibatkan perluasan makna, ditandai munculnya terma “lebaran” yang lebih bersifat sosiologis.
Lebaran telah menjadi tradisi yang tidak lagi identik dengan umat Islam semata, tetapi telah mewujud sebagai milik bersama lintas agama. Melalui laku mudik, silaturahmi, ziarah, dan saling berbagi, lebaran berperan sebagai ruang perjumpaan antar individu dan komunitas yang melintasi batas-batas iman dan keyakinan.
Baca juga:
- Penegakan Keadilan, Hukum dan Kesaksian (Analisis makna dan sosio-historis terhadap ayat Alquran QS Al-Nisa’:135)
- Tetap Berkesadaran Saat Jalani 10 Hari Terakhir Ramadan hingga Idul Fitri
Lebaran; antara Teologis dan Sosiologis
Cak Nur, dalam 30 Sajian Ruhani Renungan di Bulan Ramadhan (2007) menyebut Idul Fitri sebagai puncak ibadah puasa yang terkait erat dengan tujuan puasa itu sendiri. Puasa dengan segala ritual turunannya berfungsi sebagai sarana penyucian diri, sehingga Idul Fitri dimaknai sebagai hari raya kesucian, atau kemenangan, yakni kemenangan kembali mencapai kesucian (fitri). Sejumlah nas khususnya hadis Nabi Saw menjelaskan capaian yang akan diraih para shoim, yaitu pengampunan dosa. Lebih lanjut menurut Cak Nur, anjuran bertakbir di Idul Fitri merupakan simbolik kemenangan pasca melewati ujian tingkat lahiriah, nafsiah, hingga ruhaniah dalam berpuasa.
Dari aspek historis, Idul Fitri pertama kali dirayakan Rasulullah Muhammad Saw dan para sahabat pada tahun kedua Hijriah. Momen ini terkait dua kemenangan besar, yakni keberhasilan menyelesaikan kewajiban puasa untuk pertama kalinya, dan pada saat yang sama meraih kemenangan dalam Badar Kubra, perang tak berimbang antara 300 muslim yang tengah berpuasa melawan 1000 pasukan Quraisy Mekah (Lings, 1983). Konfrontasi ini didahului insiden monopoli pasar dan blokade perdagangan oleh kaum Quraisy atas muslim Madinah (Haikal, 1980). Penetapan Idul Fitri tersebut sekaligus perwujudan janji Rasulullah SAW ketika hijrah kepada kaum Anshar untuk mengganti Nairuz dan Mahrajan, dua hari besar era jahiliyah yang dirayakan dengan pesta pora, foya-foya, dan mabuk-mabukan. Setahun kemudian, di tahun ketiga Hijriah, diikuti pula dengan syariat kurban dan perayaan Idul Adha (Az-Zuhaili, 2011).
Pada perkembangannya Idul Fitri dirayakan umat muslim di berbagai belahan dunia dengan beragam ekspresi, dan cenderung bergeser menjadi tradisi yang sarat dengan nilai-nilai sosiologis. Di tanah air, penggunaan istilah “lebaran” sebagai perluasan makna dari Idul Fitri mengindikasikan terjadinya peristiwa budaya sebagai wujud adaptasi, asimilasi, ataupun akulturasi antara praktek keberagamaan Islam dengan tradisi setempat.
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud Ristek, Endang Aminudin Aziz menjelaskan berbagai versi asal-usul terma “lebaran”, salah satunya terkait kebiasaan umat Hindu setelah melakukan “upawasa”, yakni laku menahan lapar dan haus. Ritual ini merupakan akar dari kata “puasa” setelah mengalami perubahan morfologis ke dalam bahasa Indonesia. Upawasa diakhiri dengan perayaan sebagai simbol usai, selesai, atau habisnya pelaksanaan ritual tersebut, yang kemudian disebut dengan “lebaran” (detik.com/10/04/24).
Azumardi Azra dalam “Lebaran di Indonesia” (2017) menyebut perayaan Idul Fitri di tanah air merupakan paling semarak di dunia. Ini menurutnya lantaran tradisi yang kemudian popular dengan “lebaran” tersebut sudah “melebar” jauh melewati batas-batas ritual. Bahkan, ia telah menjadi cultural fest atau peristiwa kultural yang menandakan Islam telah melekat dalam budaya Indonesia. Meski demikian, menurutnya rangkaian ritual Idul Fitri sebagai substansi keagamaan tetap sepenuhnya mengikuti ortodoksi sesuai fikih. Ekspresi budaya lebaran ini mewujud dalam berbagai bentuk, mulai dari tradisi kuliner, ngabuburit, takjil, hingga laku mudik, halal bi halal, silaturahmi, ziarah, wisata, dan reuni. Bahkan pemerintah mengeluarkan regulasi seperti THR dan cuti bersama.
Ruang Perjumpaan Lintas Agama
Pendek kata, “lebaran” sudah menjadi milik bersama, bahkan milik bangsa, lintas etnis, komunitas, dan agama. Dari perspektif hubungan antaragama, dinamika ini sangat kondusif untuk membangun toleransi, kerukunan, dialog, dan kerjasama. Dalam masyarakat multikultural multireligius, sangat diperlukan ruang-ruang perjumpaan yang mempertemukan individu ataupun komunitas yang berbeda, serta memungkinkan terjadinya interaksi dan komunikasi.
Riset-riset menunjukkan perilaku intoleran cenderung meningkat pada komunitas yang jarang, minim, atau sama sekali tidak memiliki ruang-ruang perjumpaan lintas etnis dan agama (Faisal, 2020). Absen dan pudarnya ruang publik yang memungkinkan berlangsungnya perjumpaan lintas etnis dan agama, mengindikasikan lemahnya ikatan warga, sehingga mudah terprovokasi (Suprapto, 2019).
Baca juga:
- Pentingnya Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan Anak
- 1 Muharram, Saatnya Menanamkan Nilai Hijrah pada Anak
Pada momentum lebaran, sejumlah perilaku yang sudah membudaya sarat dengan ruang-ruang perjumpaan. Misalnya saja halal bi halal atau syawalan antar warga, komunitas, maupun lingkungan kerja, tidak saja diikuti umat muslim, tetapi lintas etnis dan agama. Sekat-sekat primordialisme yang kaku dan rigid seketika mencair lewat interaksi dan komunikasi dalam suasana yang ceria, hangat, dan gembira. Ruang-ruang perjumpaan seperti ini, mutlak dibutuhkan dan diperbanyak di negeri ini, jika kita masih sepakat dengan Bhinneka Tunggal Ika. Wallahu a’lam. [***]
Tentang Penulis: [Dosen Studi Agama- Universitas Islam Negeri Imam Bonjol (UIN IB) Padang
Ikuti Kabapedia.com di Google News