Oleh: Fadhilah
Pada tanggal 10 Dzulhijjah 1444 Hijriyah yang lalu, umat Muslim di seluruh dunia merayakan Hari Raya Idul Adha, yang juga dikenal dengan Hari Raya Kurban atau Hari Raya Haji, karena beriringan dengan rangkaian momen pelaksanaan ibadah Haji di Tanah Suci. Hari raya Kurban disambut gembira, termasuk di Indonesia, sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Hari raya ini terasa spesial karena menjadi momentum bagi masyarakat Muslim untuk berbagi kebahagiaan. Mereka yang sanggup menjadi peserta kurban dengan ikhlas membagikan daging hewan kurban kepada anggota masyarakat lainnya, terutama mereka yang tergolong keluarga kurang mampu. Dengan demikian, masyarakat secara keseluruhan menikmati daging hewan kurban, baik berupa daging sapi, kambing, domba dan lainnya.
Momentum Idul Adha mengandung pelajaran tentang pemurnian bertauhid kepada Allah, yakni soal kepatuhan Nabi Ibrahim a.s. dan anaknya Ismail yang diuji oleh Mahakuasa (Baca QS: Sh-Shafat ayat 100 s.d 111). Namun pelajaran bertauhid dari ibadah Kurban adalah agar bisa semakin menjadikan diri ini “qurb” (dekat) dengan Allah dan bisa menjalar ke setiap peristiwa yang dihadapi sepanjang hayat sebagai manusia yang masih hidup di dunia ini.
Kita perlu menyoroti soal manusia yang hidup di dunia, karena yang dihadapi saat ini bukan surga. Dalam kehidupan manusia di dunia dengan segala dinamikanya, segalanya bisa jadi tidak sama antara harapan (asa) dengan kenyataan (realitas) yang dihadapi. Kadang manusia senang dan berbesar hati bahkan bangga ketika memperoleh ujian atau kenikmatan hidup yang mungkin melambungkan dirinya ke langit, seperti kemapanan ekonomi, jabatan dan pangkat yang tinggi, dan sejenisnya.
Namun manusia ada kalanya diuji dengan kenyataan pahit, yakni berupa ujian kesempitan yang membuat dirinya merasa terhina bahkan merasa dizalimi oleh manusia lain yang tak lain dan tak bukan adalah orang-orang di sekitar lingkungannya sendiri. Pelajaran dari kisah-kisah para Nabi adalah salah satu bentuk terapinya, termasuk ketaatan Nabi Ibrahim, a.s. Lihatlah betapa murni ketaatan seorang Ibrahim khalilullah, sang kekasih Allah, SWT.
Menarik untuk melihat bagaimana kesejahteraan psikologis karena kajian tema ini banyak menarik para ilmuwan dan dibahas dalam berbagai literatur psikologi mutakhir. Kesejahteraan psikologis berkaitan erat dengan kepribadian. Saya berpendapat bahwa kajian dan pembahasan mengenai kesejahteraan psikologis lebih kepada ulasan dari sudut pandang psikis. Ini suatu yang wajar, karena kesejahteraan yang dibahas adalah kesejahteraan psikologis.
Saya memandang bahwa kesejahteraan psikologis dengan berbasis Al-Qur’an perlu dilihat dalam perspektif keikhlasan Nabi Ibrahim dan anaknya Ismail. Al-Qur’an sebagai kitab suci bagi Umat Islam juga memiliki peran sebagai hudâdan syifa’, yaitu yang memberi petunjuk dan penyembuh.
Siapa yang pernah mendapat ujian dari Allah SWT ( memang setiap manusia akan mendapat ujian dari yang Maha Kuasa) ketika diperintah menyembelih anak terkasih yang sudah lama ditunggu. Nabi Ibrahim mempunyai ayah yang merupakan seorang pembuat berhala di zaman itu.
Namun ternyata justru dari sang Ayah, Azar, qadarullah terlahir seorang Nabi yang juga digelari Bapaknya para Nabi dimana terlahir dari beliau nabi Ismail dan Ishaq yang juga kemudian keduanya juga menghadirkan nabi-nabi berikutnya yang tak lain dan tak bukan untuk mengajarkan ketauhidan kepada umat manusia pada kaumnya, hingga Nabi terakhir akhir zaman yakni Nabi Muhammad SAW.
Keimanan dan ketaatan Nabi Ibrahim inilah yang patut kita tularkan sebagai bagian dari perenungan atas problematika kehidupan kita umat manusia yang hidup di zaman modern ini. Kita hanya diminta untuk tetap dalam ketaatan kepada Allah, SWT. Terlepas ketika ada orang lain yang mengeluarkan komentar negatif, namun kita diminta untuk menyembah Allah dengan ikhlas (QS: Al-Bayyinah ayat 5).
Dengan demikian ketika kita diuji dengan merasa terhina bahkan terzalimi dalam ketaatan kepada Allah ingat saja Surat Ali Imran ayat 139, “Wala tahinu wal tahzanu wa antum a’launa in kuntum muminin” (terjemahan “Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan pula bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang beriman”). Kesejahteraan psikologis berbasis Al-Qur’an dengan mendalami kisah keikhlasan Nabi Ibrahim dan anaknya (Nabi) Ismail dapat menjadi salah satu upaya dalam meningkatkan kesejahteraan psikologis.
Semoga dengan meresapi dan menghayati dan mengamalkan amalan-amalan di bulan Dzulhijjah tahun ini dengan murni dan ikhlas karena Allah ta’ala kita digolongkan menjadi hamba-Nya yang beriman sehingga apapun yang menyebabkan diri ini merasa dihina, direndahkan dan membuat sedih bahkan merasa terzalimi tidak ada dalam kamus kehidupan kita jika ini dilakukan dalam rangka ketaatan, dan keikhlasan kepada Allah SWT.
Baca juga: Sebuah Renungan Berbagi Daging Kurban
Sekali lagi, keteladanan atas kepatuhan dan keridhaan Nabi Ibrahim mengerjakan perintah Allah juga bisa kita teladani. Semoga kita diberikan kesehatan dan kesempatan untuk bertemu kembali dengan hari Raya Idul Adha tahun depan. [***/Kpd]
Tentang Penulis: (Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama, UIN Imam Bonjol)
Simak berita Kabapedia.com di Google News