Sejarah Rohingya: Etnis Tanpa Tanah dan Harapan Masa Depan

oleh -895 Dilihat
Salah satu kapal imogran Rohingya saat mendarat di perairan Indonesia. [Foto: Dok. Ist]

Jakarta, Kabapedia.com – Rohingya adalah istilah yang biasa digunakan untuk merujuk kelompok etnis, yang disebut sebagai salah satu minoritas paling teraniaya di dunia. Di antara peristiwa pahit dan tragis yang melanda manusia, kisah penderitaan mereka tidak terlupakan.

Mereka adalah kelompok minoritas yang telah menjadi korban kekejaman, yang tidak hanya meninggalkan bekas tubuh dan jiwanya. Tetapi juga tentang kehilangan identitas, keamanan, serta harapan masa depan.

Secara umum masyarakat Rohingya terkonsentrasi di Rakhine, sebuah negara bagian yang terletak di pantai barat Myanmar. Pada awal tahun 2017 jumlah mereka di Myanmar ditaksir mencapai 1 juta jiwa, dan menjadi salah satu dari banyak etnis minoritas di negara itu.

Etnis Rohingya yang beragama Islam, mewakili persentase terbesar muslim di Myanmar, yang sebagian besar dari mereka tinggal di Rakhine. Bahkan pada awal abad ke-21 mereka membentuk sekitar sepertiga populasi di Rakhine. Kendati merupakan persentase terbesar umat Islam, sekaligus membentuk sekitar sepertiga populasi di Rakhine, tetapi hampir semua etnis Rohingya di Myanmar tidak memiliki kewarganegaraan.

Mereka tidak dapat memperoleh hak kewarganegaraan di Myanmar, lantaran undang-undang kewarganegaraan tahun 1982 tidak memasukkan etnis Rohingya dalam daftar 135 kelompok etnis nasional, yang diakui. Artinya meskipun Myanmar mengakui 135 kelompok etnis yang berbeda, tetapi Rohingya tidak termasuk salah satunya.

Sebagai etnis yang dianggap imigran gelap dan tidak diakui oleh hukum, etnis Rohingya tidak dapat mengakses layanan sosial, pendidikan hingga pegawai negeri. Bahkan pergerakan mereka di luar negara bagian Rakhine sangat dibatasi. Myanmar telah membuat peraturan ketat terkait pengendalian kelahiran dan pernikahan.

Negara ini hanya mengizinkan etnis Rohingya di beberapa kota di negara bagian Rakhine untuk memiliki dua anak, dan membatasi pernikahan beberapa Rohingya. Bahkan banyak di antara mereka menetap di gubuk-gubuk kumuh, yang lebih mirip dengan kem konsentrasi.

Penggunaan istilah Rohingya masih diperdebatkan di Myanmar. Di satu sisi pemimpin politik Rohingya menyatakan bahwa mereka adalah kelompok etnis, dengan budaya dan bahasa yang berbeda, yang leluhurnya telah menempati kawasan tersebut sejak akhir abad ke 7. Rohingya berpandangan bahwa mereka adalah penduduk asli Myanmar barat, dengan warisan budaya dari satu milenium, dan pengaruh dari orang-orang Arab, Mugal dan Portugis.

Sedangkan di sisi lain penduduk Buddhis, yang merupakan mayoritas di negara tersebut, menolak untuk menyebut etnis tersebut sebagai Rohingya, dan lebih suka menyebutnya dengan Bengali, dan menganggap bahwa etnis tersebut sebagian besar terdiri dari imigran ilegal, dari wilayah yang saat ini disebut sebagai Bangladesh.

Pemerintah Myanmar menganggap Rohingya sebagai migran kolonial dan pascakolonial Inggris dari Chittagong di Bangladesh. Pemerintah berpandangan bahwa populasi muslim prakolonial yang berada di kawasan Rakhine. diakui sebagai Kaman. Tetapi kemudian orang Rohingya menggabungkan sejarah mereka dengan sejarah muslim arakan pada umumnya, untuk memajukan agenda separatis.

Itulah sebabnya selama sensus 2014, yang pertama dilakukan selama 30 tahun, pemerintah Myanmar membuat keputusan untuk tidak menghitung mereka yang menyebut dirinya sebagai Rohingya, dan hanya menghitung mereka yang menerima klasifikasi sebagai Bengali.

Akar perbedaan antara etnis Rohingya dan Myanmar, bermula dari sejarah yang cukup panjang. Rakhine atau arakkan, sebuah wilayah bersejarah dan merupakan negara pesisir tua yang terletak di Asia Tenggara, yang kini menjadi tempat konsentrasi orang Rohingya, tidak diakui siapa pemukim aslinya.