Sehari di Malioboro

oleh -313 Dilihat

Oleh: Winbaktianur

Perjalanan kali ini saya menggunakan Kereta Api Bandara dengan rute stasiun Yogyakarta International Airport (YIA)-Stasiun Yogyakarta (Tugu). Tarif sangat terjangkau, dengan Rp.20.000 saya sudah berada dalam antrian penumpang untuk menaiki KA. Waktu tempuh 40 menit saya sudah menginjakkan kaki di stasiun Yogyakarta nan legendaris di dominasi warna putih. Bergegas saya keluar stasiund an menuju ke salah satu hotel yang dipesan beberapa hari sebelum berangkat. Bersama seorang teman, saya menyeberang jalan dan masuk gang 2 sosrowijayan. Kiri kanan gang dipenuhi oleh penginapan dengan harga yang terpampang jelas, mulai dari Rp 150.000 dan café serta warung makan. Setelah 4 menit melintasi gang ini, perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri jalan Sosrowijayan yang dipenuhi oleh hotel berbintang 1 hingga 4, hotel kelas Melati dan kafe serta toko oleh-oleh.

Malioboro. [Foto: Dok. Ist@]

Usai merapikan tas ransel di kamar, tanpa menunggu waktu saya langsung bergerak menyusuri Malioboro. Saat kaki menginjak Yogyakarta, rasanya kurang lengkap kalau tidak mampir ke Malioboro. Jalan dengan Sejarah Panjang yang paling terkenal seantero Yogyakarta ini bukan sekadar nama, melainkan denyut nadi kota yang tak pernah berhenti. Setiap sudutnya punya cerita, setiap Langkah siapapun akan ditemani alunan musik, tawa, dan aroma khas kota dengan kesederhanaannya.
Saya melangkah menyusuri Maliboro usai adzan Magrib usai berkumandang. Tujuan saya adalah Teras Malioboro yang konon katanya jauh lebih nyaman di lokasi baru. Benar saja, saya merasa ini adalah ‘rumah’ baru yang tepat bagi pedagang kaki lima Malioboro. Suasananya lebih rapi dan bersih, cocok buat semua pengunjung yang ingin belanja tanpa terlalu berdesak-desakan.
Sejak diresmikan, Teras Malioboro langsung menjadi salah satu destinasi wajib bagi wisatawan. Salah satu alasan utamanya adalah kenyamanan. Jika sebelumnya pengunjung harus berdesakan di trotoar untuk berbelanja, kini mereka bisa menikmati suasana yang lebih rapi dan luas.

Selain itu, Teras Malioboro menawarkan pengalaman belanja dan kuliner yang lebih menyenangkan. Pengunjung dapat menikmati berbagai suvenir khas Yogyakarta, mulai dari batik, aksesoris, hingga makanan tradisional. Tersedia tempat duduk, toilet, dan ruang istirahat, menambah kenyamanan bagi wisatawan.

Beranjak menuju pasar Beringharjo, dengan berjalan kaki sekitar 3 menit, saya sudah memasuki gerbang pasar legendaris yang paling populer seantero Yogyakarta. Pasar ini sudah ada sejak tahun 1758, tidak lama setelah berdirinya Keraton Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I. Pada tahun 1925, pemerintah Hindia Belanda membangun gedung pasar permanen. Arsitekturnya mengadopsi gaya kolonial dan masih digunakan hingga kini sebagai bangunan utama pasar.

Perdagangan batik (baik batik tulis maupun batik cap, jamu tradisional, kuliner khas Jawa dan Yogyakarta, barang antik dan kerajinan tangan serta masih banyak lagi tersedia dengan harga yang ramah di kantong. Waktunya untuk yang jago menawar, kamu bisa dapat harga super murah di sini. Sempatkan untuk mampir di Hamzah, pusat oleh-oleh khas Yogyakarya yang tidak boleh dilewatkan dan jangan lupa jepret patung pemilik Hamzah serta menikmati segelas jamu.

Dari Beringharjo, saya berjalan kaki santai ke Titik Nol Kilometer. Sekeliling persimpangan ikonik dipenuhi oleh bangunan-bangunan tua yang megah, Kantor Pos Besar, Bank Indonesia, dan Benteng Vredeburg. Saya melangkah memasuki Benteng Vredeburg, saksi bisu sejarah perjuangan bangsa di Yogyakarta. Saya menikmati sore di Titik Nol Kilometer ditemani segelas kopi seduh yang tak kalah nikmatnya dengan kopi di kafe.

Sekarang saatnya saya duduk santai di pinggir jalan sambil menikmati wedang ronde dan nasi kucing. Malam hari di Malioboro punya suasana yang berbeda, lebih santai dengan alunan musik jalanan. Bagi saya, Malioboro bukan cuma sebuah jalan yang penuh dengan sejarah dan keriuhan, tapi juga tentang menikmati suasana, meresapi sejarah, dan menciptakan kenangan. Setiap langkah di Malioboro adalah cerita yang menunggu untuk diresapi. Datang dan telusuri Malioboro. (**)

 

Tentang Penulis: (Winbaktianur, penikmat wisata dan budaya winbaktianur1978@gmail.com)