Oleh: Ilhamni, Akademisi UIN Imam Bonjol
Tradisi Mudik Lebaran merupakan tradisi pulang kampung tahunan yang dilakukan oleh umat Islam di akhir bulan puasa menyambut hari Raya Idul Fitri. Mudik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah berlayar atau pergi ke udik (hulu sungai atau pedalaman).
Dalam kegiatan masyarakat, istilah “mudik” merupakan tradisi pulang ke kampung halaman atau tempat asal yang dilakukan dalam rangka menghadapi /merespon hari besar keagamaan seperti Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, Natal dan lain-lain.
Baca juga:
- ‘Ibu’ Pegawai Tetap Tanpa Gaji (PTTG) Dalam Keluarga (Mengenang Jasa Ibu di Hari Ibu)
- Penegakan Keadilan, Hukum dan Kesaksian (Analisis makna dan sosio-historis terhadap ayat Alquran QS Al-Nisa’:135)
Momen mudik akan terlihat sangat marak dan intensif dalam merayakan Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran. Ini dilakukan oleh umat Islam sedang atau setelah menjalani puasa di bulan Ramadhan. Meskipun era digital telah membantu dan memudahkan manusia dalam berkomunikasi, ternyata tradisi Mudik Lebaran yang lekat dengan bangsa Indonesia ini belum bisa digantikan dengan teknologi. Mudik ini diramaikan oleh masyarakat dari berbagai profesi, dan melibatkan seluruh usia, laki-laki dan perempuan.
Pada tahun ini, karena jumlah masyarakat yang kembali ke kampung halamannya atau disebut pemudik sangat banyak dan menyeluruh khususnya di Indonesia. Kementerian Perhubungan Indonesia memperkirakan jumlah pemudik Lebaran bulan Syawal/April tahun 2024 ini sekitar 193,6 juta orang dilansir oleh CNN Indonesia. Ini hampir dari dua per tiga jumlah penduduk Indonesia yang hampir 280 Juta orang menurut Worldometer di Bulan Maret 2024 diambil dari data terbaru.
Jumlah pemudik tahun ini juga diperkirakan melebihi tahun lalu yang berjumlah 134 juta orang. Hal ini juga membuat pemerintah turun tangan dalam pelaksanaan tradisi ini seperti penyediaan alat transportasi ekstra, pengamanan lalu lintas dan penyediaan fasilitas kesehatan bagi pemudik dalam proses perjalanan.
Para Pemudik ini menggunakan berbagai alat transportasi seperti udara, darat dan laut. Ada yang menggunakan kendaraan umum atau pribadi seperti mobil, motor bahkan becak. Mereka sudah mempersiapkan dirinya dari segi finansial dan rela membayar dengan harga lebih mahal dari kondisi normal. Rela dan senang hati dalam proses perjalanan menghadapi kemacetan panjang bahkan berhari hari dalam perjalanan melebihi hari-hari perjalanan normal. Bahkan ada pemudik yang melakukan perjalanan darat dengan resiko macet, panas, hujan, bersempit-sempit dalam perjalanan dan berhadapan dengan bahaya yang mengancam jiwa. Namun tidak menyurutkan semangat untuk melakukan tradisi yang disebut Mudik Lebaran ini.
Tradisi ini memungkinkan untuk dilihat dari berbagai sudut pandang seperti sosial budaya, kesehatan, transportasi, keamanan, ekonomi, psikologi, agama dan lain-lainnya. Hasilnya tentu tergantung dari sudut pandang mana yang dipakai untuk meneropongnya. Pada kesempatan ini penulis ingin melihatnya dari sudut pandang agama khususnya agama Islam karena ini dalam suasana hari raya keagamaan yaitu Idul Fitri sebagai hari raya yang besar bagi umat Islam khususnya Indonesia.
Banyak hal yang dinikmati oleh pemudik dalam perjalannya seperti bisa menikmati cuti bersama bagi orang-orang yang bekerja dalam berbagai profesi seperti pekerja kantoran baik negeri maupun swasta, istirahat berdagang atau bekerja sebagai buruh dan lain-lain, sebagian lagi menikmati kebersamaan dengan seluruh anggota keluarga yang tidak selalu bisa dilakukan setiap waktu, menikmati perjalanan karena biasanya diiringi dengan mengunjungi destinasi wisata dan lainnya. Mudik juga dengan berbagai tujuan mengunjungi keluarga yang sudah lama ditinggalkan sperti suami, istri, orang tua dan karib kerabat atau juga calon pasangan bahkan ada yang diselipi keinginan untuk show karena diberikan kelebihan secara ekonomi.
Perjalanan Mudik Lebaran membutuhkan energi besar berupa uang, waktu, dan tenaga. Sebagai umat Islam, seyogyanya tradisi ini dilakukan dengan kesadaran penuh dalam rangka menghidupkan nilai-nilai agama Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadis, karena dengan adanya nilai-nilai agama dalam sebuah aktivitas bisa memberikan nilai ibadah dan kebaikan bagi yang melakukannya serta menghilangkan perbuatan-perbuatan negatif yang mungkin muncul berkaitan dengan tradisi Mudik Lebaran ini. Nilai-nilai Islam ini diterapkan agar tradisi ini memberikan manfaat bagi para pemudiknya baik duniawi dan ukhrawi. Sebuah aktivitas yang baik dilakukan dengan niat dan cara yang baik dan menjadikan Allah sebagai tujuannya, maka ia bisa menjadi amal ibadah bagi pelakunya. Dalam kesempatan ini kita mencoba melihat dua hal.
Pertama, menghadapkan Niat kepada Allah SWT. Hadist dari Amirul mukminin Abu Hafash Umar bin Khaththab RA. ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : Semua amal perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang diniatkannya. Siapa yang berhijrah karena Allah dan Rasulnya , maka hijrahnya untuk Allah dan Rasulnya. Dan siapa yang berhijrah karena dunia yang ia cari atau wanita yang ia ingin nikahi, maka hijrahnya untuk apa yang ia tuju”.
Hadits ini diriwayatkan oleh dua orang ahli hadis Bukhari dan Muslim. Tradisi Mudik Lebaran ini sebagai sebuah gerak dan aktivitas dengan demikian akan menjadi amal kebaikan jika diawali dengan niat untuk melakukan perintah Allah dan mengharapkan keridhaan-Nya serta tentunya diisi dengan kegiatan kegiatan positif, menjauhi hal-hal yang berlebihan apalagi bertentangan dengan nilai nilai agama Islam. Ada ulama yang mengatakan bahwa sebuah adat atau tradisi bisa menjadi ibadah dan di tangan orang yang tidak shalih, ibadah hanya menjadi adat rutinitas saja tanpa mengetahui nilai dan hakikat perbuatannya.
Kedua, mempererat hubungan silaturahmi. Di dalam surat al-Nisa (4) : ayat 1 : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan kamu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan menciptakan darinya pasangannya. Allah memperkembangbiakkan dari keduanya laki-laki yang banyak dan preempuan. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (pelihara pula) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah Maha mengawasi kamu.
Dalam ayat di atas disinggung mengenai perintah Allah untuk menjaga dan menyambungkan silaturahmi. Kata silaturahmi ini sudah menjadi bahasa Indonesia yang berarti tali persahabatan atau persaudaraan. Dalam bahasa Arab kata ini berasal dari dua kata. Dalam Kamus Mu’jam al-Wasith, kata “shilat” berarti hubungan dan kata “rahim” bisa berarti “rahim “yaitu tempat peranakan dan juga berarti kasih sayang atau sifat lemah lembut.
Prof. Quraish Shihab menjelaskan bahwa di dalam rahim, janin mulai tumbuh dan berkembang dengan kasih sayang dari seorang ibu. Rahim membuat orang terhubung dengan yang lainnya. Melalui rahim terhubung persamaan seorang dengan yang lain baik sifat, fisik maupun psikis banyak atau sedikit. Pertemuan sperma dan ovum membawa gen dari nenek atau kakek baik dekat maupun jauh.
Dengan demikian rahim telah menjadi media untuk terjalinnya hubungan yang erat antar manusia. Oleh sebab itu Allah mengancam siapa yang memutuskan silaturahmi dan sebaliknya menjanjikan keberkatan dan usia yang panjang bagi yang memeliharanya. Hadis riwayat Muslim dari Aisyah “Rahim tergantung di singgasana Ilahi (Arasy), di sana ia berkata: Siapa yang menyambung ku, akan disambung Allah (dengan rahmat-Nya, dan siapa yang memutuskanku akan diputuskan Allah (rahmat-Nya). Dalam momen lain Rasulullah bersabda Siapa yang senang diperluas rezekinya dan diperpanjang usianya, maka hendaklah ia menyambung kan hubungan silaturahmi.
Orang yang datang dari jauh dalam rangka menjalin dan mempererat hubungan dengan orang-orang yang dicintai serta memiliki kekerabatan atau juga persahabatan seperti ayah, ibu adik, kakak, suami, istri dan kerabat dekat atau jauh termasuk juga sahabat. Atas nama jalinan silaturahmi ini seseorang akan merasakan kedekatan dengan orang lain dikarenakan merasakan kesamaan dalam berbagai dimensi. Dari rasa kesamaan ini akan muncul keinginan untuk saling membantu dan tolong menolong untuk kebaikan. Hal ini antara lain bisa diwujudkan dengan membangun kampung halaman atau tempat asal, misalnya membantu keluarga yang lemah dari segi ekonomi dan pendidikan misalnya apakah dengan ide atau didukung oleh materi. Nilai silaturahmi ini dikedepankan dalam tradisi Mudik Lebaran ini.
Baca juga:
- Sensasi yang Mengguncang Kopi Liberika Meranti
- ‘Anak Cucu’ PT Semen Padang Matikan Kontraktor Lokal!!
Agar tradisi Mudik Lebaran ini benar-benar bisa mendatangkan keberkahan dan perluasan rezeki bagi orang yang mengunjungi dan dikunjungi, mendatangkan keberkahan baik itu material dan non material, menghadirkan kebaikan duniawi dan ukhrawi, maka seyogyanya pagi pemudik untuk mengisi tradisi Mudik Lebaran ini dengan niat karena Allah dan dalam rangka menjalin dan mempererat silaturahmi sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dilakukan juga agar dalam proses pelaksanaannya, seseorang mampu menilai hal-hal negatif yang justru bisa merusak silaturahmi itu sendiri seperti kesombongan, kemarahan dalam melakuan perjalanan yang penuh tantangan, atau kelalaian yang bisa berakibat buruk bagi diri sendiri bahkan keluarga, karib kerabat, sahabat atau bahkan orang lain. [***]
Tentang Penulis: (Penulis adalah akademisi prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, UIN Imam Bonjol – Email: [email protected])
Ikuti Kabapedia.com di Google News