Jakarta, Kabapdia.com – Pada 2019, pemerintahan Donald Trump memasukkan Huawei ke dalam “Entity List” Departemen Perdagangan AS. Keputusan ini membuat Huawei tidak lagi dapat mengakses teknologi buatan AS, termasuk kolaborasi dengan raksasa seperti Google, Intel, dan Qualcomm. Setahun kemudian, AS memperketat sanksi dengan memutus akses Huawei ke pasokan chip semikonduktor dari TSMC, Taiwan. Inggris, Jerman, dan Prancis juga mengikuti jejak AS dengan memperketat regulasi terhadap perangkat Huawei di jaringan 5G.
Baca juga:
Namun, tekanan ini bukannya melemahkan Huawei. Sebaliknya, perusahaan teknologi asal Tiongkok ini berhasil bangkit dengan strategi inovatif. Pada Agustus 2023, Huawei meluncurkan Mate 60 Pro, smartphone yang menggunakan chip 7 nanometer buatan dalam negeri, Kirin 9000s, serta sistem operasi Harmony OS Next yang mandiri dari Android.
Huawei didirikan pada 1987 oleh Ren Zhengfei, mantan insinyur militer Tiongkok. Bermodal 21.000 yuan, Huawei awalnya hanya menjadi distributor alat komunikasi. Namun, Ren menyadari pentingnya inovasi dan memproduksi perangkat sendiri. Produk pertama mereka, switch telepon C&C08, berhasil mendapat respon positif di pasar domestik.
Kepercayaan diri ini membawa Huawei merambah pasar internasional pada 1997, dimulai dari Hong Kong. Tidak seperti banyak perusahaan Tiongkok lainnya, Huawei sejak awal berinvestasi besar-besaran dalam penelitian dan pengembangan (R&D). Pusat R&D mereka tersebar di berbagai negara, termasuk India. Pada era 2000-an, Huawei mulai menyasar pasar Eropa dan Amerika, bermitra dengan perusahaan besar seperti 3Com dan Symantec.
Pada 2019, sanksi AS memutus akses Huawei ke Android dan Google Mobile Services. Namun, Huawei sudah bersiap dengan Harmony OS, sistem operasi yang mulai dikembangkan sejak 2012. Harmony OS dirilis pada 2019 dan terus berkembang, menjadi alternatif kuat bagi pasar global.
Di tengah tekanan, Huawei juga meluncurkan berbagai inovasi, termasuk teknologi 5G, kecerdasan buatan (AI), dan komputasi awan. Pada 2023, mereka meluncurkan Mate 60 Pro, membuktikan kemampuan teknologi chip 7 nanometer buatan SMIC, produsen semikonduktor terbesar di Tiongkok.
Blokade AS yang bertujuan melemahkan Huawei justru menjadi “senjata makan tuan.” Di Tiongkok, pangsa pasar Android turun dari 72% menjadi 70% pada kuartal ketiga 2024, sementara Harmony OS naik dari 13% menjadi 15%. Huawei tidak hanya bertahan, tetapi juga mengancam dominasi Android di pasar domestik.
Huawei juga menggandeng lebih dari 10.000 mitra lokal untuk mengembangkan ekosistem Harmony OS. Dalam waktu singkat, mereka berhasil menarik lebih dari 15.000 aplikasi yang mendukung sistem operasi tersebut. Huawei telah menciptakan ekosistem teknologi yang mandiri, mulai dari perangkat keras hingga perangkat lunak.
Keberhasilan Huawei adalah bukti bahwa isolasi tidak selalu berarti kekalahan. Dalam tiga tahun terakhir, Huawei mengganti lebih dari 13.000 komponen yang terdampak sanksi dan berkolaborasi dengan 88 perusahaan di 75 negara. Dengan Harmony OS Next, Huawei kini sepenuhnya mandiri dari Android, membangun sistem operasi dari nol yang tidak lagi berbasis Linux.
Baca juga:
- Strategi Berani MD Entertainment Akuisisi Net TV
- Strategi The New York Times, Berjaya saat yang lain Mati!!
Tekanan yang dihadapi Huawei telah menjadi energi untuk kebangkitan. Mereka tidak hanya berhasil melepaskan diri dari ketergantungan pada teknologi asing, tetapi juga menciptakan inovasi yang mengancam dominasi teknologi Barat. Mate 60 Pro, Harmony OS Next, dan chip Kirin 9000s adalah simbol keberhasilan Huawei sebagai pemain global.
Blokade AS telah menjadi pelajaran bahwa tekanan dapat menjadi katalisator bagi inovasi dan ketangguhan. Huawei kini bukan hanya simbol kebangkitan teknologi Tiongkok, tetapi juga ancaman nyata bagi dominasi teknologi Barat. [isr]
Ikuti Google News dan KabaPadang dari Kabapedia Network