Sejarah Perbudakan Tersembunyi di Balik Manisnya Industri Gula

oleh -456 Dilihat
Potret perbudakan yang terjadi pada industri gula di masa lalu. [Foto: Dok. Ist]

Kabapedia.com – Di balik kristal putih manis yang kita kenal sebagai gula, terpahat sebuah cerita penuh air mata, darah, dan penderitaan. Gula, dengan rasanya yang manis, menjadi mata rantai dalam sejarah penjajahan yang pahit. Lahan-lahan tebu yang menghijau dan membentang di tanah-tanah Karibia hingga Brazil, yang seharusnya menjadi saksi atas kesuburan tanah, justru menjadi panggung bagi penindasan serta penderitaan.

Pada abad ke-16, ketika Eropa untuk kali pertama merasakan manisnya kekayaan yang dihasilkan oleh tebu, koloni dunia baru diubah menjadi pabrik gula raksasa. Namun, harga yang mereka bayar tidak diukur dengan emas atau perak, melainkan dengan nyawa manusia, alias nyawa para budak yang diculik dari tanah Afrika. Karena itu, setiap kristal gula merupakan simbol perjuangan, kesakitan, serta kehilangan yang tidak terukur.

Baca juga:

Pada setiap butir gula yang kita nikmati saat ini, terukir kisah para jiwa yang haknya telah dirampas. Mereka bekerja hingga titik darah penghabisan di bawah terik matahari, hanya untuk memenuhi nafsu tidak terpuaskan akan kekayaan dan kekuasaan dari para majikan.

Secara historis, pada zaman kuno, tepatnya pada tahun 327 sebelum masehi, sebuah rombongan ekspedisi militer di bawah komando Alexander Agung mengembara melintasi daratan India. Mereka menjejakkan kaki di Lembah Subur yang dikenal sebagai Sungai Indus. Di sana, di antara rimbunan tanaman dan debu gurun, mereka menemukan sesuatu yang mengguncang dunia mereka, sebuah glagah tebu di sepanjang tepian sungai dengan daun-daunnya yang menghijau serta bunga-bunganya yang bermekaran.

Namun, yang paling menakjubkan adalah rasa manis yang muncul dari air tebu tersebut, yang kemudian membuat Alexander Agung terpesona dan dia pun menamai gelagah tersebut sebagai penghasil madu tanpa lebah, yang saat ini kita kenal sebagai gula tebu.

Sejarah tentang gula tidak berhenti sampai di sana. Seperti angin yang membawa kabar, gula mulai menyebar ke berbagai penjuru dunia. Di Persia, orang-orang menikmati manisnya secangkir teh. Namun, wilayah yang paling memperkaya serta mempopulerkan gula adalah wilayah Timur Tengah. Di sana, peradaban Islam mengembangkan sistem agrikultur tebu, di mana perkebunan tebu dianugerahi sinar matahari. Hasilnya, gula dalam jumlah besar semakin menyebar ke seluruh penjuru dunia, di mana Laut Mediterania menjadi jalur utama bagi pengangkutan serta perdagangan gula.

Di Malta, pedagang menghitung keuntungan mereka. Sementara di Maroko, gula menjadi bahan dasar manisan yang lezat. Dan di Spanyol, demikianlah orang-orang Eropa baru benar-benar berinteraksi dengan gula saat Perang Salib pertama yang meletus pada tahun 1096 masehi. Para peziarah dari tanah jauh memasuki wilayah yang kaya akan gula, di mana mereka mempelajari seni bercocok tanam dari wilayah-wilayah yang mereka invasi selama perang. Ketika pasukan salib itu kembali ke Eropa, gula mereka juluki sebagai emas putih, sebab keberadaannya yang langka, mewah, dan hanya dimiliki para bangsawan.

Status gula sebagai barang langka serta mewah perlahan-lahan mulai luntur saat orang-orang Eropa membawa perkebunan tebu ke wilayah jajahan mereka. Pada abad ke-15, Portugis memulai eksperimen perkebunan tebu di Pulau Madeira. Tidak jauh dari sana, di Kepulauan Canaria, Spanyol juga melakukan eksperimen yang serupa. Pada tahun 1492, Christopher Columbus membawa perkebunan tebu dari kedua wilayah itu menuju wilayah Amerika dan Karibia. Periode ini menandakan pergeseran produksi gula yang mewah dari peradaban Islam menuju peradaban kolonial di kawasan Samudra Atlantik. Ini adalah awal dari sebuah era baru, di mana gula tidak lagi hanya untuk para raja serta ratu, tetapi menjadi komoditas yang menjanjikan kekayaan bagi siapa saja yang berani mengambilnya.

Sejak abad ke-15, dimulailah ekspansi perkebunan tebu yang turut memotivasi para penjajah Eropa untuk berlomba-lomba mencari koloni, menghabisi masyarakat asli, berdagang budak, serta membabat hutan. Gula tebu, yang aslinya digunakan untuk pakan babi oleh orang-orang Polinesia dan Austronesia di Asia Tenggara, berubah menjadi pendorong untuk melakukan perbudakan serta kerusakan alam di tangan para penjajah Eropa.

Gula, yang sekarang begitu akrab kita temukan dalam sebungkus permen, sebotol minuman soda, atau secangkir teh, dulunya merupakan salah satu mesin penggerak kolonial Eropa, sebuah roda yang berputar dengan darah dan air mata akibat produksi gula yang gila. Jutaan orang terombang-ambing di dalam kapal yang sesak di Samudra Atlantik untuk diperdagangkan.

Mereka dipaksa untuk meninggalkan segala yang mereka kenal. Mereka dibawa menyeberangi Samudra Atlantik dalam perjalanan mengerikan yang dikenal sebagai Middle Passage. Di dalam kapal-kapal yang penuh sesak, banyak yang tidak bertahan hidup hingga mencapai tujuan mereka. Bagi yang selamat, kenyataan baru yang mengerikan telah menunggu mereka, yaitu hari-hari yang tidak ada akhirnya di bawah terik matahari, memotong dan menggiling tebu, dikejar oleh waktu dan ditakuti oleh cambuk. Mereka adalah para korban dari gilasan roda yang menjalankan penjajahan serta perbudakan.

Mereka umumnya adalah orang-orang dari Afrika yang diperbudak untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah atau bahkan gratis. Mereka dipekerjakan di perkebunan-perkebunan tebu Karibia dan Amerika milik Eropa, di samping untuk keperluan perkebunan lain seperti kopi, tembakau, serta kapas.

Jumlah orang Afrika yang diperbudak selama periode penjajahan ini mencapai 15,4 juta. Jutaan orang itu diculik oleh para pedagang budak, kemudian dijual kepada orang-orang Eropa untuk dipekerjakan di perkebunan tebu. Sejak awal, mereka telah mendapat perlakuan yang tidak manusiawi, seperti dibengkakkan rantai, kelaparan, atau terkena penyakit. Namun, kondisi yang lebih horor terjadi saat mereka mulai memasuki pelayaran trans atlantik.

Selama enam bulan pelayaran, budak berdesak-desakan di bawah geladak kapal dengan gerak yang terbatas. Akibatnya, jutaan nyawa orang Afrika telah direnggut. Diperkirakan, dari 100 orang yang ditangkap, hanya 75 jiwa yang ke pasar budak, hanya 64 yang sampai ke pelabuhan, hanya 57 orang yang sampai ke kapal, hanya 51 budak yang selamat selama pelayaran, dan hanya 49 orang yang sampai ke tangan para majikan perkebunan tebu. Hanya terdapat sekitar 28 hingga 30 budak yang dapat bertahan.

Tidak hanya merenggut jutaan nyawa orang Afrika, perkebunan gula kolonial juga merampas kehidupan masyarakat asli Amerika. Sejarah menyebutkan bahwa antara tahun 1492 hingga 1880, terdapat 5,5 juta asli Benua Amerika yang telah diperbudak. Di antara jutaan orang itu, terdapat ratusan ribu, bahkan jutaan lainnya yang meninggal sel.

Sejarah Perbudakan dan Transformasi Menjadi Komoditas Global

Setelah berakhirnya masa perbudakan pada tanggal 18 Desember tahun 1865, sejarah dan penyebaran gula mengalami perubahan yang signifikan. Pusat geografis budidaya tebu secara bertahap bergeser di seluruh dunia selama rentang waktu 3000 tahun, dari India ke Persia, sepanjang Mediterania, ke pulau-pulau dekat pantai Afrika, dan kemudian ke Amerika, sebelum akhirnya bergeser kembali ke seluruh dunia.

Dari awalnya sebagai tanaman yang ditanam di kebun-kebun kecil, tebu mulai berkembang menjadi kekuatan ekonomi yang sangat besar. Permintaan gula yang meningkat mendorong tindakan penjajahan dunia baru oleh kekuatan Eropa, yang pada akhirnya menggantikan sistem perbudakan dengan pekerja kontrak atau buruh indenture untuk memelihara dan memanen tanaman yang memerlukan tenaga kerja yang intensif.

Meskipun produksi gula tidak lagi bergantung pada tenaga kerja budak, transisi ini tidak terjadi secara instan. Banyak bekas koloni yang masih bergantung pada tenaga kerja yang dibayar murah atau buruh kontrak. Pada abad modern ini, gula menjadi penyedia kalori yang murah bagi pekerja perkotaan serta industri modern, dan konsumsi gula meledak di banyak negara berpenghasilan tinggi dan menengah.

Baca juga:

Di Amerika Serikat, misalnya, konsumsi gula per kapita melebihi 45 kg per tahun, tidak termasuk sirup jagung tinggi fruktosa yang digunakan secara luas oleh industri minuman di negara itu. Sejarah gula setelah berakhirnya perbudakan menunjukkan bahwa komoditas ini adalah sebuah produk yang dulunya dikaitkan dengan ketidakadilan sosial, perbudakan, serta penjajahan, yang bertransformasi menjadi komoditas global yang mempengaruhi pola makan serta kesehatan masyarakat di seluruh dunia.

Pada setiap gigitan, kita merasakan manisnya gula. Namun, pada saat yang bersamaan, kita tidak dapat melupakan sisi pahitnya. Di balik kenikmatan itu, terdapat cerita kelam di balik debu-debu sejarahnya. Cerita tentang bagaimana gula, yang sekarang menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup kita, memiliki sejarah yang terpahat oleh air mata, darah, dan penderitaan. [isr]

 

Ikuti Kabapedia.com di Google News dan berita lainnya Kabapedia Network di KabaPadang