Kota ini berada pada ketinggian 909–941 meter di atas permukaan laut, dan memiliki hawa sejuk dengan suhu berkisar antara 16.1–24.9 °C.
Bukittinggi: Kota Kecil dengan Sejarah yang Kaya
Dari total luas wilayah Kota Bukittinggi saat ini, yaitu 25,24 km², sebanyak 82,8% telah dialokasikan untuk lahan budidaya, sementara sisanya merupakan hutan lindung.
Kota ini memiliki topografi yang unik, dengan bukit-bukit dan lembah-lembah yang tersebar di wilayah perkotaan. Beberapa bukit terkenal di antaranya adalah Bukit Ambacang, Bukit Tambun Tulang, Bukit Mandiangin, Bukit Campago, Bukit Kubangankabau, Bukit Pinang Nan Sabatang, Bukit Canggang, dan Bukit Paninjauan.
Selain itu, terdapat juga lembah yang dikenal dengan Ngarai Sianok, dengan kedalaman yang bervariasi antara 75–110 m, dan di dasarnya mengalir sebuah sungai yang disebut dengan Batang Masang.
Bukittinggi awalnya adalah pasar bagi masyarakat Agam Tuo. Namun, setelah kedatangan Belanda, kota ini berubah menjadi benteng pertahanan mereka dalam perang melawan Kaum Padri. Pada tahun 1825, Belanda mendirikan benteng di salah satu bukit di kota ini, yang dikenal sebagai Fort de Kock. Tempat ini juga menjadi tempat peristirahatan para opsir Belanda yang berada di wilayah jajahannya.
Selama pemerintahan Hindia Belanda, kawasan ini terus ditingkatkan perannya dalam ketatanegaraan dan berkembang menjadi sebuah stadsgemeente (kota). Kota ini juga berfungsi sebagai ibukota Afdeeling Padangsche Bovenlanden dan Onderafdeeling Oud Agam.
Selama pendudukan Jepang, Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian pemerintahan militer untuk kawasan Sumatra, bahkan sampai ke Singapura dan Thailand. Kota ini menjadi tempat kedudukan komandan militer ke-25 Kempetai, di bawah pimpinan Mayor Jenderal Hirano Toyoji.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Bukittinggi ditetapkan sebagai Ibu Kota Provinsi Sumatra, dengan gubernurnya Mr. Teuku Muhammad Hasan. Kemudian, berdasarkan Ketetapan Gubernur Provinsi Sumatra Nomor 391 tanggal 9 Juni 1947, Bukittinggi juga ditetapkan sebagai wilayah pemerintahan kota.
Pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Bukittinggi berperan sebagai kota perjuangan. Pada tanggal 19 Desember 1948, kota ini ditunjuk sebagai Ibu Kota Negara Indonesia setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Peristiwa ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Bela Negara, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 18 Desember 2006.
Baca juga:
- Sejarah Rohingya: Etnis Tanpa Tanah dan Harapan Masa Depan
- Sejarah Bus Legendaris Asal Aceh PMTOH, Kini Berusia lebih Setengah Abad
Selanjutnya, berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1956, Bukittinggi menjadi kota besar dalam lingkungan daerah Provinsi Sumatra Tengah, yang meliputi wilayah Provinsi Sumatera Barat, Jambi, Riau, dan Kepulauan Riau saat ini.
Dalam rangka perluasan wilayah kota, pada tahun 1999 pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1999 yang menggabungkan nagari-nagari di sekitar Bukittinggi ke dalam wilayah kota. Namun, sebagian masyarakat Kabupaten Agam menolak untuk bergabung dengan Bukittinggi, sehingga peraturan tersebut hingga saat ini belum dapat dilaksanakan. Pemerintah Kota menetapkan hari jadi Kota Bukittinggi pada tanggal 22 Desember 1784. [isr]
Ikuti Kabapedia.com di Google News