Benarkah Ulah Elit Global!! Kenapa Dunia ini Butuh Orang Miskin?

oleh -1400 Dilihat
Elit global. Ilustrasi [Foto: Dok. Kabapedia.com]

Jakarta, Kabapedia.com – Benarkah ulah elit global!! Kenapa dunia ini butuh kehadiran orang miskin? Yuk cari tahu jawabannya dalam artikel menarik Kabapedia.com berikut ini. Agar informasi yang kami sampaikan utuh, jangan lupa simak hingga akhir.

Ketimpangan sosial adalah masalah global yang telah menjadi perhatian utama bagi semua negara. Ketika jarak antara orang kaya dan miskin semakin lebar, ini menciptakan ketidakadilan sosial. Lebih parah lagi, ketika kekayaan orang kaya jauh melampaui orang miskin, ini memberikan kontrol lebih besar kepada orang kaya atas orang miskin.

Baca juga:

Misalnya, kita semua tahu tentang Fiat money atau uang Fiat yang kita gunakan sehari-hari. Bagi Anda yang sering membaca berita ekonomi, Anda pasti pernah mendengar tentang inflasi. Inflasi terjadi ketika nilai mata uang yang kita pegang melemah, membuat harga barang-barang di sekitar kita terasa lebih mahal dari biasanya.

Misalkan, tahun lalu harga beras adalah Rp10.000 per liter dan tahun ini harga beras naik menjadi Rp20.000 per liter. Yang membuat harga beras terasa lebih mahal bukan hanya karena harga berasnya yang naik, tetapi juga karena nilai mata uang yang kita pegang selalu berkurang. Oleh karena itu, untuk menjaga nilai uang kita agar tidak berkurang oleh inflasi, kita membutuhkan investasi.

Namun, masalahnya adalah bagi orang-orang yang tidak memiliki akses ke instrumen investasi yang bisa mengalahkan inflasi, uang mereka akan selalu berkurang seiring berjalannya waktu. Mereka menjadi semakin miskin karena nilai uang mereka selalu dipotong oleh inflasi.

Banyak orang berargumen bahwa di era digital saat ini, siapa pun bisa mengakses investasi dari ponsel mereka. Memang benar, siapa pun bisa mendownload aplikasi untuk investasi. Namun, tidak semua orang berada di posisi ideal untuk memulai investasi. Ada yang mungkin masih terbelit hutang, harus memberi nafkah kepada orang tua mereka, dan berbagai masalah lainnya.

Hal ini jelas berdampak pada ketimpangan sosial, di mana orang-orang yang masuk golongan miskin menjadi semakin miskin, sedangkan golongan kaya yang mengerti cara mengontrolnya menjadi semakin kaya. Penelitian dari Oxfam menunjukkan bahwa 1% orang terkaya di dunia menguasai 2/3 dari kekayaan secara global. Sementara sisanya dikuasai oleh 99% manusia lainnya. Ini menunjukkan betapa jauhnya kesenjangan sosial yang ada di dunia ini.

Banyak negara memiliki ambisi kuat untuk memberantas kemiskinan agar ketimpangan ini tidak terlalu jauh. Namun, sebenarnya dunia ini membutuhkan golongan miskin untuk menjalankan dunia ini. Kemiskinan tidak bisa sepenuhnya diberantas di dunia ini karena ada beberapa hambatan dari orang miskin itu sendiri.

Salah satu akar penyebab mengapa kemiskinan masih dibutuhkan adalah karena kapitalisme. Kapitalisme membutuhkan kemiskinan untuk menjalankan sistemnya. Kapitalisme adalah sistem ekonomi yang membebaskan pihak swasta untuk menguasai alat produksi untuk mencari keuntungan ekonomi. Dalam sistem ini, siapa pun diperbolehkan untuk memiliki usahanya sendiri tanpa banyak dikontrol oleh pemerintah.

Dalam kapitalisme, kita membutuhkan pihak atau golongan yang bisa menjadi tumbal untuk mengisi posisi paling bawah agar piramid ini tidak runtuh. Itulah mengapa tidak banyak orang yang bisa memahami sistem keuangan dan perbudakan yang sebenarnya, karena dasarnya sistem ini membutuhkan orang-orang “bodoh” untuk menjadi tumbal.

Piramid ini akan runtuh jika semua orang di bagian bawah mulai berpikir bagaimana caranya naik ke atas. Oleh karena itu, akan ada banyak tantangan bagi orang-orang di kalangan bawah untuk naik ke atas. Bisa jadi doktrin melalui media, lingkungan sekitar, bahkan sistem pendidikan yang sadar atau tidak sadar mematikan pemikiran kritis kita untuk berpikir bagaimana caranya naik ke atas.

Dalam sistem kapitalisme, kita membutuhkan orang-orang di kalangan bawah untuk menjadi pondasi menjalankan sistem ini. Misalnya, kapitalisme adalah sistem ekonomi yang membebaskan siapa pun untuk menguasai alat produksi, alias siapa pun bebas untuk membangun usaha. Ketika seseorang membuat usahanya sendiri, dia pasti membutuhkan buruh atau pekerja.

Jika tidak ada lagi orang miskin dan semua manusia hidup sejahtera, tidak akan ada lagi manusia yang memiliki mental pekerja. Karena ketika seseorang bekerja, tujuan utamanya adalah mencari uang untuk memenuhi kebutuhannya. Jika semua orang sejahtera tanpa kekurangan, tidak akan ada lagi yang mau menjadi pekerja.

Jika tidak ada lagi pekerja, dampaknya bisa dirasakan oleh seluruh umat manusia. Karena ketika tidak ada lagi manusia dengan mentalitas pekerja, perusahaan-perusahaan akan tutup dan otomatis barang-barang yang menjadi kebutuhan kita sehari-hari akan terhambat karena produksinya berhenti.

Itulah mengapa golongan miskin selalu dijaga untuk tetap pada posisinya, agar selalu ada manusia yang mau melakukan pekerjaan itu. Karena jika semua orang sejahtera, siapa lagi yang mau menjadi sopir, atau siapa lagi yang mau menyapu dan mengepel lantai.

Kita masih butuh dan bahkan selalu butuh kalangan ekonomi bawah. Ini bukan untuk menghalangi kemajuan, tetapi sebagai gambaran bahwa kita membutuhkan manusia-manusia yang mau melakukan pekerjaan tersebut untuk mendapatkan uang.

Sebenarnya ini bisa dibilang sebagai sisi jahat dari kapitalisme, di mana sistem ini selalu membutuhkan kalangan bawah untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan dengan upah rendah. Tapi ya, itulah cara kerja kapitalisme. Justru ketika tidak ada orang miskin lagi, dunia ini akan berantakan dan tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Mungkin ini menjadi pertanyaan yang menarik, jika memang dunia ini adil, apakah semua orang bisa menjadi kaya? Sebenarnya, semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi kaya, karena tidak ada yang melarang siapa pun untuk menjadi kaya. Namun, tidak semua orang memiliki akses yang sama untuk memanfaatkan kesempatan itu.

Akhirnya, kemiskinan itu terbagi menjadi dua, ada kemiskinan struktural dan ada kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi ekonomi dan sosial suatu negara, sedangkan kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh pola pikir dan perilaku individu atau kelompok masyarakat. Keduanya saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain dalam menciptakan dan mempertahankan kemiskinan.

Dengan memahami kedua jenis kemiskinan ini, kita dapat lebih efektif dalam merancang dan menerapkan strategi untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan sosial. Namun, penting untuk diingat bahwa meskipun kita mungkin tidak dapat sepenuhnya menghapus kemiskinan, kita dapat bekerja untuk menciptakan sistem yang lebih adil dan inklusif yang memberikan kesempatan yang sama kepada semua orang, tidak peduli latar belakang ekonomi mereka.

Kemiskinan adalah Fenomena Global

Kemiskinan. Ilustrasi [Foto: Dok. Ist]
Kemiskinan adalah fenomena global yang memiliki dua aspek utama: kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor internal individu, seperti malas belajar, malas bekerja, tidak berani mengambil risiko, dan lainnya. Sementara itu, kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor eksternal, seperti lahir dari keluarga miskin, tinggal di daerah yang rawan peperangan, atau kebijakan pemerintah yang merugikan.

Meski setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi kaya, tidak semua orang memiliki akses yang sama untuk memanfaatkan kesempatan tersebut. Misalnya, bayangkan anak-anak yang lahir di negara Timur Tengah yang rentan terhadap peperangan. Meski mereka memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi kaya, akses mereka untuk memanfaatkan kesempatan tersebut dibatasi oleh negara mereka sendiri.

Selain itu, ada juga faktor-faktor lain yang membatasi individu untuk menjadi kaya, meski faktor-faktor tersebut berada dalam kendali mereka. Misalnya, meski kita semua tahu bahwa salah satu faktor untuk menjadi kaya adalah kerja keras, tidak semua orang memiliki etos kerja yang tinggi. Selain itu, cara pandang dan persepsi seseorang terhadap kekayaan juga berbeda-beda. Ada orang yang lebih memilih hidup sederhana daripada mengejar kekayaan.

Kekayaan bukan hanya tentang nominal, tetapi juga tentang perbandingan. Seseorang bisa dikatakan kaya ketika harta yang dimilikinya lebih tinggi dari mayoritas manusia di sekitarnya. Jika semua orang di dunia ini menjadi miliarder, istilah “kaya” hanya akan menjadi ilusi. Untuk menjadi kaya di antara para miliarder, seseorang harus menjadi triliuner.

Meski kita melihat bahwa tidak semua orang bisa menjadi kaya dan selalu ada golongan miskin, bukan berarti masalah ketimpangan sosial yang ekstrem ini menjadi fenomena yang harus dibiarkan begitu saja. Ketimpangan sosial yang terlalu parah justru bisa menyebabkan eksploitasi golongan atas ke golongan bawah yang menciptakan kesengsaraan bagi pihak di bawah.

Tugas pemerintah bukanlah menghapus kemiskinan, tetapi mengecilkan gap ketimpangan sosial dan meningkatkan standar hidup golongan miskin. Misalnya, jika pendapatan golongan miskin tadinya Rp300.000, maka pemerintah harus berusaha meningkatkannya menjadi Rp500.000.

Kita memang membutuhkan golongan miskin. Kekayaan bukan hanya tentang nominal, tetapi juga tentang perbandingan. Orang kaya ada karena adanya orang miskin, dan orang kaya membutuhkan tenaga orang miskin untuk pekerjaannya. Di sisi lain, orang miskin juga membutuhkan uang orang kaya untuk memenuhi kebutuhannya.

Baca juga:

Jadi, antara si kaya dan si miskin, keduanya memiliki peran dan porsi masing-masing. Yang menjadi masalah bukanlah kaya dan miskinnya, tetapi ketimpangan sosial yang semakin jauh perbandingannya. Oleh karena itu, pertanyaannya adalah, di golongan mana Anda ingin berada? Apakah Anda ingin menjadi bagian dari minoritas yang menjadi kaya, atau menjadi bagian dari golongan bawah?

Semoga artikel ini bermanfaat dan dapat memberikan wawasan baru bagi Anda. Jangan lupa untuk meninggalkan komentar Anda tentang topik ini di kolom komentar. Sampai jumpa di artikel selanjutnya! [isr]

 

Ikuti Kabapedia.com di Google News